Kamis, 29 Desember 2011

Suara Untuk Keanekaragaman Hayati

Indonesia di mata dunia dikenal sebagai megabiodiversity country,
lantaran Indonesia merupakan negara yang menjadi tempat
terkonsentrasinya keanekaragaman hayati dunia. Indonesia merupakan
negara kepulauan yang terletak dalam lintasan distribusi
keanekaragaman hayati benua Asia (Sumatera, Jawa, Kalimantan dan
pulau-pulau disekitarnya), benua Australia (Papua dan pulau-pulau
disekitarnya) dan wilayah peralihan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan
Nusa Tenggara) sehingga Indonesia dikatakan sebagai salah satu kawasan
pusat keragaman hayati yang terkaya di dunia. Indonesia mempunyai
25.000 spesies tumbuhan berbunga (10% dari tumbuhan berbunga dunia),
515 spesies mamalia (12% dari jumlah mamalia di dunia), 1500 spesies
burung, 600 spesies reptilia dan 270 spesies amfibi.

Selain itu, adanya keanekaragaman hayati yang berlimpah juga telah
memberi warna tersendiri bagi perkembangan budaya di seluruh
Nusantara, dimana budaya-budaya yang hidup dan tumbuh telah melukiskan
dengan baik keadaan alam Nusantara yang begitu luar biasa. Indonesia,
sebuah negara dan wilayah yang merupakan salah satu contoh terbaik
dari kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati. Negara-negara lain
ataupun kawasan-kawasan lain juga tak kalah menariknya dengan
Indonesia diantaranya adalah kawasan Asia Tenggara yang lain, India,
Afrika dan kawasan Amerika Latin, wilayah-wilayah tersebut telah
memberi corak kehidupan bagi planet bumi. Keadaan ini tampaknya lebih
disebabkan oleh kawasan-kawasan tersebut mempunyai iklim yang sama
yaitu tropis dan sebagian kecil subtropis, dimana daerah tropis adalah
daerah yang mempunyai kekayaan hayati tebesar dan sebagai penopang
kehidupan semua makhluk hidup di planet bumi. Kawasan tropis identik
dengan hutan rimba yang lebat, fauna-fauna yang eksotik, wilayah yang
hangat sepanjang tahun, pemandangan alam yang menakjubkan dan budaya
yang menawan.

Akhir-akhir ini, isu lingkungan terbesar adalah hilangnya
keanekaragaman hayati, terutama di negara-negara tropis yang mempunyai
keanekaragaman hayati terbesar. Kerusakan dan hilangnya keanekaragaman
hayati sudah mencapai tingkat yang membahayakan dengan perkiraan
apabila penebangan hutan terjadi terus menerus maka sekitar 5 – 10 %
spesies yang ada di dunia akan punah setiap sepuluh sampai 30 tahun
mendatang. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kerusakan
keanekaragaman hayati di Indonesia dan dunia, yaitu adanya pembalakan
liar, pembangunan besar-besaran/mega proyek seperti pembuatan jalan
raya atau pemukiman yang menembus hutan ataupun kawasan konservasi,
pembangunan bendungan/waduk secara besar-besaran yang mengambil
sebagian atau seluruh kawasan konservasi dan kegiatan pertambangan di
kawasan konservasi, serta adanya perkebunan yang menggantikan
heterogenitas tanaman hutan.
Selain itu, penyebab kerusakan keanekaragaman hayati yang tak kalah
hebatnya adalah kepentingan ekonomi dimana terjadi peningkatan
kegiatan industri yang selama ini cenderung tidak ramah lingkungan.
Selama ini, tampaknya mayoritas kegiatan ekonomi yang telah terjadi di
Indonesia dan juga dunia adalah kegiatan ekonomi yang hanya mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya dengan cara eksploitasi alam dan
lingkungan melalui peningkatan industrialisasi yang masif, tidak ramah
lingkungan, kehidupan sosial dan budaya. Dengan hadirnya kemajuan
"teknologi" untuk mendukung kegiatan ekonomi negara, maka eksploitasi
alam pun semakin meningkat misalnya adalah upaya untuk menggantikan
keanekaragaman menjadi keseragaman dan monokultur pada sektor
kehutanan, perikanan, pertanian dan peternakan. Misalnya adalah
melalui penerapan revolusi hijau dalam bidang pertanian, revolusi
putih dalam bidang perusahaan peternakan (perusahaan susu) dan
revolusi biru dalam bidang perikanan.

Kerusakan sumberdaya hayati di planet bumi yang telah ditunjukkan
terutama negara-negara di kawasan tropis, terutama Indonesia akan
terus berlanjut apabila belum ada kesadaran dari semua pihak, baik
masyarakat, pemerintah sebagai pembuat kebijakan, dan pelaku industri.
Untuk menghentikan kerusakan alam ini setidaknya diperlukan semangat
individu-individu yang punya idealisme tinggi untuk menyelamatkan alam
atau dalam kata lain diperlukan suara-suara baru yang menyuarakan
ketidakadilan dan ketidakpedulian sebagian besar umat manusia terhadap
planet bumi.

Apabila populasi masyarakat bumi saat ini semakin meningkat, maka tak
diragukan lagi bahwa laju kerusakan alam dan sumberdaya hayati bumi
akan meningkat pula dengan tajam, karena kecenderungan manusia yang
selalu berpikian materi tanpa berpikiran koservasi. Kondisi seperti
ini haruslah diimbangi dengan munculnya individu-individu yang berani
"bersuara" untuk planet bumi. Menyuarakan saja kadang tidak cukup
berdampak, lantaran wajah planet bumi yang sudah semakin parah, maka
diperlukan suatu langkah "lain" untuk merubah kondisi seperti ini,
salah satu cara yang mungkin bisa diterapkan adalah dengan melakukan
kajian atau riset yang mendalam tentang keanekaragaman hayati,
kekayaan alam, dampak perilaku manusia terhadap alam dan lingkungan,
serta memberikan pemahaman kepada masyarakat umum atau peningkatan
public awarenes mengenai alam, lingkungan dan keanekaragaman hayati,
dan juga edukasi. Kajian seperti ini tampaknya tidak hanya menjadi
ranah ilmuwan dalam lembaga riset, tetapi sangat bisa dilakukan oleh
setiap individu yang punya kepedulian.

Dengan riset atau kajian, tampaknya akan mudah diperoleh kebenaran
yang mungkin bisa digunakan untuk membantu pemerintah dalam merubah
dan atau membuat kebijakan mengenai alam, keanekaragaman hayati,
lingkungan, dan sosial-budaya. Sedangkan edukasi dan peningkatan
public awareness lebih bertujuan untuk menata hati masyarakat dan
meningkatkan peran serta masyarakat dalam kelestarian keanekaragaman
hayati, yang selama ini hidup bersinggungan dengan alam dan
lingkungan, langsung atau tidak langsung. Apabila hal ini dilakukan,
maka masa depan planet bumi akan lebih baik. Kita harus selalu
berpikiran bahwa kekayaan alam yang ada di planet bumi ini adalah
titipan untuk generasi masa depan, bukanlah warisan.

Selasa, 27 Desember 2011

Akhir Kisah Dusun Bathok

Tak pernah sepi, begitulah sepotong kalimat yang selalu terlontar oleh
siapa saja ketika menginjakkan kaki di dusun Bathok. Jauh dari
hiruk-pikuk kehidupan glamor kota besar, tidak menghalangi kemeriahan
suasana dusun Bathok setiap hari. Sebuah dusun yang tidak begitu luas
dan hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Laut Jawa, hutan
mangrove, dan hutan jati, adalah tiga titik yang merupakan pembatas
dusun dari dusun-dusun sekitar, bahkan bisa dibilang bahwa dusun
Bathok merupakan tipe wilayah yang terisolir dari wilayah sekitar.
Hanya terdengar gesekan dedaunan dan lantang suara warga ketika siang,
serta hanya terpancar kelip kunang-kunang dan redup cahaya teplok kala
gelap menjelang, lantaran listrik belum dikenal warga.

Riuh tawa anak-anak selalu mengiringi waktu di dusun Bathok,
menghambur menyesaki setiap sudut dusun. "Mereka adalah rejeki, jadi
biarkan langkah mereka menjejaki setiap jengkal tanah dusun, biar
rejeki itu mengaliri dusun Bathok", begitulah ujar mbah Sukun,
satu-satunya tetua dusun yang sudah berumur hampir sembilan puluh
tahun.

Hampir semua warga dusun Bathok lebih memilih berkarya di dusunnya
sendiri, lantaran anggapan bahwa dusun Bathok lebih memberikan
keselamatan bagi mereka, walaupun pada akhirnya mereka harus rela
menerima kehidupan yang sederhana. Petani kopra, petani singkong,
nelayan, peternak kambing, dan pencari kayu bakar, lima mata
pencaharian yang telah dilakoni warga dusun Bathok selama puluhan
tahun. Tidak pernah terdengar keluhan warga. Mereka merasa, dusun
Bathok sebagai ibu, dan mbah Konyik sebagai bapak. Dua sosok itulah
yang selalu memanjakan seluruh warga dusun. Menurut mereka, kehidupan
kota di luar dusun sangatlah kurang beradab. Hilangnya separuh hutan
jati di dusun Bathok adalah ulah masyarakat kota, begitulah anggapan
mereka.

Walaupun sama sekali tidak ada bangunan sekolah formal di dusun
Bathok, warga dusun tetap mengerti tentang baca dan tulis, bahkan bisa
dibilang semua warganya paham betul perihal membaca dan menulis, baik
huruf latin maupun huruf arab. Inilah yang dianggap aneh oleh
orang-orang kota atau dusun tetangga, bahkan ada yang menganggap
mereka mewarisi ilmu laduni. Namun, anggapan tersebut tampaknya tidak
selalu benar, lantaran warga dusun mempunyai tradisi pamong, dimana
warga dewasa ataupun tua yang lebih pandai akan mengasuh warga muda
dalam segala hal atau lebih tepatnya mereka akan menurunkan ilmu
pengetahuannya kepada warga muda.

---------------------

Dusun Bathok, sebuah wilayah dataran rendah di tepi laut Jawa dianggap
oleh sebagian warga kota dan dusun tetangga sebagai wilayah yang
menyimpan misteri, bahkan ada anggapan bahwa warga dusun Bathok adalah
orang-orang yang aneh, lantaran mereka jarang berinteraksi dengan
warga dusun sekitar dan bahasanya pun dianggap berbeda dengan bahasa
jawa yang lazim digunakan oleh warga di kota yang menaungi dusun
Bathok. Sampai saat ini pun belum ada yang tahu sejarah dan seluk
beluk dusun Bathok. Beberapa anggapan yang pernah dipercaya warga
dusun sekitar ialah mereka, warga dusun Bathok bukan orang asli
wilayah itu, mereka berasal dari daerah lain yang kemudian membangun
sebuah dusun di tengah-tengah hutan mangrove dan rimbunnya hutan jati,
tidak ada yang tahu dari mana asal mereka, hanya anggapan bahwa mereka
berasal dari negeri seberang. Sedangkan anggapan lain yang juga
dipercaya warga adalah warga dusun Bathok sebenarnya adalah
orang-orang buangan sejak jaman Majapahit, lantaran mereka dianggap
memberontak kala itu, mereka diisolasi di tengah-tengah hutan jati
dengan harapan mereka tidak akan bisa keluar dari hutan itu. Namun,
anggapan-anggapan seperti itu nampaknya hanya menjadi bumbu-bumbu
kehidupan yang menghiasi suasana dusun-dusun sekitar dusun Bathok dan
juga dusun Bathok sendiri.

Meskipun penuh misteri, warga dusun Bathok dikenal dengan jiwa
sosialnya yang tinggi. Pernah suatu ketika dusun tetangga mengalami
musim paceklik, dengan serta merta warga dusun Bathok membagikan hasil
buminya ke seluruh dusun yang dilanda paceklik, dan sampai sekarang
pun mereka masih suka membagikan sebagian hasil buminya ke wilayah
yang kekurangan, tidak tanggung-tanggung, beberapa ekor kambing pun
pernah disumbangkan untuk membantu dusun Cemong, dusun yang terkenal
karena ketandusannya. Selain itu, mereka sering menyumbangkan dana
untuk pembangunan masjid di dusun Kesemek, salah satu tetangga dusun.
Walaupun banyak anggapan bahwa warga dusun Bathok sama sekali tidak
mengenal uang.

Setiap bulan purnama, warga dusun Bathok akan berkumpul di sekitar
rumah gebyok tempat tinggal mbah Sukun. Rumah mbah Sukun, begitulah
warga menamainya, terletak agak jauh dari rumah-rumah warga lainnya.
Tidak ada yang tahu usia rumah mbah Sukun, mungkin puluhan dan atau
ratusan tahun. Tepat di tengah-tengah hutan jati, rumah mbah Sukun
berdiri kokoh. Meskipun lokasinya yang jauh dari pemukiman sebagian
besar warga, setiap hari selalu ramai dikunjungi oleh warga, dan
puncaknya terjadi kala malam dengan bulan penuh. Malam purnama
dianggap sebagai malam yang penuh berkah. Menghambur riuh, sambil
menikmati sajian panganan dari hasil bumi, begitulah suasana setiap
malam purnama. Lagu-lagu dolanan yang keluar dari mulut-mulut mungil
serasa tidak mau kalah dengan celoteh guyon-guyonan orang dewasa.

Hampir seluruh warga dusun Bathok yang menyesaki rumah gebyok mbah
Sukun kala malam bulan penuh selalu menunggu wejangan dari mbah Sukun.
Biasanya wejangan itu keluar menjelang tengah malam. Tidak hanya itu,
mereka juga selalu berharap melihat kemunculan mbah Konyik.
Bulan-bulan sebelumnya, mbah Konyik selalu menampakkan diri sebelum
wejangan dilontarkan oleh mbah Sukun. Di atas batu kali, di bawah
pohon beringin di sela-sela rerimbunan hutan jati itulah mbah Konyik
selalu merebahkan tubuhnya kala malam purnama. Menurut anggapan warga,
jika mbah Konyik menampakkan dirinya saat malam purnama, maka
kesejahteraan dan kemakmuran akan menghampiri dusun Bathok selama satu
bulan penuh.

Mbah Sukun, di usianya yang renta tidak pernah bosan berujar
mengingatkan warganya untuk selalu guyub rukun, murah senyum,
menghormati alam, tradisi lokal, dan selalu ikhlas. Beliau bertubuh
kurus namun tinggi, berkulit sawo matang, berambut panjang dengan uban
hampir mendominasi helai rambutnya, dan anehnya, di wajahnya tidak
memperlihatkan kerut-kerut ketuaan. Beliaulah satu-satunya tetua dusun
yang masih hidup sampai sekarang. Mbah Sukun dianggap sebagai orang
yang mempunyai kelebihan dan beliau juga merupakan keturunan leluhur
yang membangun dusun Bathok. Rumah gebyok di tengah hutan merupakan
satu-satunya harta yang dimiliki mbah Sukun. Namun, mbah Sukun pernah
berujar bahwa harta yang tak ternilai bagi beliau adalah ketentraman
dusun Bathok. Rumah beliau juga diperuntukkan untuk semua warga, atau
dengan kata lain, mbah Sukun membuka pintu bagi semua warga yang ingin
menggunakan rumah gebyoknya untuk kepentingan umum dusun Bathok.

-----------------------------

Mbah Konyik dianggap warga sebagai bapak dusun, atau dengan kata lain
beliau dianggap sebagai penjaga lingkungan dusun Bathok. Gelegar
suaranya setiap senja selalu dinanti oleh setiap warga dusun. Suara
yang biasanya dianggap ancaman oleh orang umum itu dianggap oleh warga
dusun sebagai pertanda dan pengingat. Sebuah pertanda tentang
kemakmuran dan kesejahteraan, dan pengingat untuk menghentikan segala
aktivitas di kebun dan ladang untuk bersegera menghadap Sang Pencipta.
Tampaknya tidak ada satu warga pun yang mengetahui riwayat mbah
Konyik, kecuali mbah Sukun. Ada anggapan bahwa mbah Konyik sebenarnya
adalah saudara mbah Sukun, lantaran berbeda fisik, mbah Konyik
mengalah dan memilih hidup di dalam hutan jati. Namun, kabar tersebut
tampaknya hanya menjadi cerita pemanis dusun saja karena mbah Sukun
pun tidak pernah membenarkan cerita perihal mbah Konyik. Hanya mbah
Sukun pernah berujar bahwa mbah Konyik-lah yang sebenarnya mempunyai
wilayah yang sekarang bernama dusun Bathok.

Sudah berpuluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun lalu, setiap tanggal
satu penanggalan Jawa, warga dusun selalu memberikan sesajen berupa
daging kambing kepada mbah Konyik. Mbah Sukun mengungkapkan bahwa
sesajen yang diberikan warga lebih merupakan wujud menghargai dan
menghormati keberadaan mbah Konyik, tidak ada maksud lainnya.

---------------------

Sudah dua hari ini, warga tidak mendengar suara khas mbah Konyik kala
senja menjelang. Tidak ada yang tahu kemana mbah Konyik berada. Hampir
semua warga merasa khawatir kalau-kalau mbah Konyik tidak menampakkan
diri lagi di dusun Bathok, hal ini diyakini sebagai pertanda buruk
bagi dusun. Mereka juga resah lantaran sejak pagi ini, warga dusun
belum menjumpai mbah Sukun. Biasanya mbah Sukun tidak pernah
melewatkan menjadi imam warga di langgar kecil tak jauh dari rumah
gebyok mbah Sukun setiap subuh, langgar Al-Ikhlas namanya. Pak Blarak,
salah satu warga berujar bahwa kondisi kesehatan mbah Sukun sebenarnya
agak terganggu sejak satu minggu ini. Namun, warga menganggap sakit
yang diderita mbah Sukun hanyalah masuk angin biasa lantaran mbah
Sukun akhir-akhir ini sering keluar malam, bahkan beliau sering tidak
tidur kala malam, entah apa yang dilakukan mbah Sukun, seorang warga
pun tidak ada yang mengetahuinya sampai hari ini.

Beberapa warga sudah pernah menanyakan alasan kegiatan mbah Sukun
setiap malam, bahkan mereka juga sempat melarang mbah Sukun melakukan
hal itu. Namun, mbah Sukun hanya bungkam dan tetap saja beliau
melakukannya setiap malam. Beberapa warga meyakini bahwa apa-apa yang
dilakukan mbah Sukun mempunyai makna bagi kehidupan dusun Bathok.
Sejak keanehan itu muncul, sekitar satu minggu lalu, warga selalu
berusaha meringankan sakit yang diderita mbah Sukun, mereka secara
bergiliran memasak makanan dan meramu jamu untuk mbah Sukun.

Hari ini, keresahan benar-benar melanda kehidupan warga dusun Bathok.
Beberapa warga merasa tidak nyaman kala meladang lantaran mereka
memikirkan keselamatan mbah Sukun. Bahkan, kondisi hari ini
benar-benar kontras, berbeda dengan hari kemarin. Riuh suara anak-anak
yang berpadu dengan angin laut tidak terdengar hari ini, entah kenapa,
tetapi tampaknya lebih dikarenakan adanya perintah larangan dari orang
tua mereka untuk tidak keluar rumah sebelum mbah Sukun kembali ke
dusun. Warga benar-benar merasa bahwa sebuah keburukan akan melanda
dusun Bathok.

-------------

Beberapa warga dewasa terlihat memadati halaman rumah mbah Sukun. Pak
Blarak-lah yang mengumpulkan mereka. Dengan lantang, pak Blarak
memerintahkan kepada segenap warga dusun untuk mencari mbah Sukun,
beliau juga berujar bahwa beliau tidak akan pulang sebelum mbah Sukun
ketemu. Kejadian seperti ini nampaknya baru pertama kali terjadi.
Pencarian tersebut akan diawali setelah waktu ashar.

-------------------

Sahut-sahutan kicau burung wiwik beserta suara bedug dan adzan maghrib
dari langgar-langgar dusun tetangga menemani rombongan pak Blarak kala
menyusuri gelapnya hutan jati. Tak henti-hentinya mereka melontarkan
panggilan-panggilan kepada mbah Sukun, dan sesekali untuk mbah Konyik.
Pandangan mata yang diterangi obor pun dilemparkan jauh ke celah-celah
antara pohon jati dan semak-semak. Gelap semakin memayungi hutan jati,
hasil belum juga didapat, hanya suara-suara marah monyet-monyet ekor
panjang yang merasa terganggu.

Dengan komando pak Blarak, rombongan kecil itu masuk jauh ke arah
barat daya hutan jati. Entah apa yang sedang dituju pak Blarak, belum
ada yang tahu. Setiap orang dalam rombongan hanya melontarkan
suara-suara panggilan. Arah barat daya merupakan salah satu perbatasan
dusun Bathok dengan dusun Gedhebog, sebuah dusun yang konon dihuni
oleh kelompok penebang hutan dan pemburu. Warga dusun Gedhebog
terkenal sadis dan kejam dalam memperlakukan siapa saja yang
menghalangi aksinya. Konon, mereka adalah orang-orang suruhan salah
satu perusahaan perkebunan.

---------------

Suara rintihan itu semakin jelas, tampaknya berasal dari sebuah tanah
lapang yang membatasi hutan jati dusun Bathok dengan dusun Gedhebog.
Rombongan warga pun bersegera menuju tempat itu.

----------------

Pancaran beberapa obor cukup menerangi apa yang terjadi di tempat itu.
Noda-noda merah terlukis diantara hijaunya rumput dan dedaunan kering.
Tak hanya itu, rambut-rambut berwarna hitam, coklat, dan kemerahan
bertebaran di sekitar sesosok renta yang terbaring lemas. Bukan hanya
terbaring lemas, tetapi tubuh itu telah kehilangan ruhnya, beberapa
luka terlihat menembus perut dan dadanya. Seketika pembawa obor
bersimpuh mengelilingi sosok renta itu.

--------------------------

Sudah dipastikan tidak akan ada lagi wejangan-wejangan bijak yang
keluar kala malam bulan penuh, serta juga tidak akan ada lagi yang
namanya bapak dusun, yang menampakkan diri di sebuah batu kali, di
atas pohon beringin tua sebelum wejangan dilontarkan kala malam
purnama. Dan suara-suara khas kala senja pun tidak akan pernah muncul
lagi. Misteri dusun Bathok pun tidak akan bisa ditelusuri jejaknya
lantaran seorang renta pembawanya telah tiada bersama seekor harimau
jawa terakhir.

Sabtu, 24 Desember 2011

sendu daun

selembar daun
terlepas dari tangkai
jatuh
entah hijau entah kuning
sudah tidak bermakna lagi
bagi mereka,
yang terdiam dalam teduhnya kubah emas

meskipun itu daun terakhir

sepotong langit biru,
menunggu habis dilumat pekat jaman
lantaran biru dianggap antimodern

oh, hipokrisi yang melingkar

hanya angka yang hadir dalam kepala
lantaran angka merujuk khazanah
yang patut dilahap

cicitan kukila pun dianggap ancaman

sendu, terdengar bak gemuruh angin gunung
lantaran rimba tak bisa memberontak

gersang pun akhirnya melanda


bintaro, 24 desember 2011

Rabu, 14 Desember 2011

Sebuah Pesan Save Our Wildlife dari Pinggiran Jakarta

"Dok, bisa menangani monyet ga?", tanya seorang pemilik seekor monyet
ekor panjang di depan pintu masuk sebuah klinik hewan.

"Saya coba ya bu, silakan bu!"

Ibu pemilik monyet tersebut terlihat mengeluarkan seekor monyet ekor
panjang dengan kondisi kepayahan dari dalam sebuah tas. Serta-merta
ibu tersebut menyebutkan namanya, "Nyet namanya dok". Sekilas terlihat
bahwa monyet ekor panjang tersebut masih berusia muda, kira-kira
berumur enam bulan-an.

"Kalau boleh tahu keluhan si Nyet apa ya bu?"

"Begini dok, sejak kemarin si Nyet kok batuk-batuk, napasnya kelihatan
sesak dan nafsu makannya langsung menurun, lemas juga dok."

"Saya periksa dulu ya bu, o ya, kalau boleh tahu apakah di rumah ada
yang lain selain si Nyet?"

"Ada tiga ekor lagi dok, tapi yang lemas cuma si Nyet."

-------------------

"Begini ya bu, kalau kondisinya seperti ini, saya takutnya si Nyet
terserang tuberculosis, dan penyakit ini bisa menular ke manusia."

"Terus saya harus bagaimana ya dok?, di rumah ada anak kecil juga."

"Sebaiknya ibu periksakan ke rumah sakit hewan untuk memastikan
kemungkinan tuberculosis, dan satu hal lagi bu, si Nyet-Nyet kan
termasuk satwa liar jadi sebaiknya ibu tidak memelihara satwa liar
lagi, karena ada resiko penularan penyakit ke manusia."

"Terus bagaimana ya dok?"

"Kalau mau, ibu bisa menghubungi Pusat Penyelamatan Satwa yang
terdekat, nanti saya carikan alamatnya."

----------------

Sebuah obrolan di siang hari antara pemilik satwa liar di sebuah
klinik hewan di pinggiran Jakarta yang menggambarkan betapa masyarakat
kota besar masih menganggap satwa liar sebagai pet animal. Satwa liar
menurut mereka, telah disamakan dengan hewan-hewan kesayangan domestik
lainnya, entah alasan apa yang mendasarinya, beberapa mengatakan bahwa
mereka sayang terhadap satwa liar. Inilah anggapan yang harus
diluruskan, sayang terhadap satwa liar bukanlah berarti memeliharanya
dalam sangkar atau dirantai. Sayang terhadap hewan adalah memberikan
hak hewan dalam prinsip animal welfare. Terdapat perbedaan antara
kesejahteraan hewan domestik dan satwa liar. Jelas, satwa liar dalam
kodratnya tidak diperuntukkan untuk dielus atau disangkarkan seperti
anjing atau kucing, mereka akan merasa bahagia jika dibiarkan dan
dijaga kelesetariannya di habitatnya. Jadi sayang terhadap satwa liar
harus ditunjukkan dengan menjaga kelestariannya. Selain itu, beberapa
zoonosis telah dilaporkan terdapat pada satwa liar, jadi semakin dekat
jarak manusia dengan satwa liar, maka kemungkinan penyakit baru akan
muncul lebih besar, bahkan bisa menjadi wabah dan juga pandemi. Contoh
saja SARS dan flu burung yang telah menggemparkan dunia internasional.

Sudah saatnya berkata "Stop Memelihara dan Memperdagangkan Satwa
Liar", serta saatnya berujar "Lestarikan Satwa Liar beserta Habitatnya
Mulai Sekarang"

Kamis, 08 Desember 2011

Secuil Kisah di Dusun Kukilo

Masih terlihat onggokan tak beraturan dari sejumlah jajanan pasar yang
telah mengering. Beberapa bahkan terlihat berceceran agak masuk ke
rerimbunan hutan. Sunyi, begitulah kesan yang terlihat siang ini,
hanya bunyi gesekan-gesekan dedaunan, ranting, dan batang-batang bambu
yang tertiup angin, kadang disertai dengan kicauan cerukcuk, kutilang,
dan sesekali prenjak. Tidak terlihat gerak-gerik warga siang ini,
bahkan rumah berdinding kayu jati tak jauh dari pohon beringin tempat
onggokan sampah jajanan pasar itu terlihat tutup, tidak ada aktivitas
manusia sama sekali.

-------------------------

Hamparan tanaman singkong yang tidak begitu luas tampaknya telah
menjadi wahana sosialisasi masyarakat dusun Kukilo. Hampir setiap
hari, tidak kenal tanggal merah, mereka selalu berhambur menggarap
kebun singkong peninggalan leluhur, salam sapa dan riuh senda gurau
pun selalu menghiasi gersangnya kebun singkong, dari pagi sampai sore
menjelang. Tidak pernah ada keluh kesah dan ego pribadi, kebun itu
telah dianggap milik bersama yang harus dikelola bersama untuk
kemakmuran dusun. Bertani singkong, merupakan satu-satunya pekerjaan
yang bisa dilakukan oleh hampir semua warga dusun Kukilo, lantaran
tandusnya lahan telah menghalangi tumbuhnya tanaman pangan lainnya.

Meskipun tandus dan miskin sumber air, tidak pernah terdengar keluhan
warga akan kesulitan dan kerasnya hidup di daerah itu. Mereka
beranggapan dengan kondisi seperti itu, dusun Kukilo menjadi lebih
tenteram dan raharja. Dalam bertani, mereka telah menerapkan sistem
pembagian kerja, secara bergilir, mereka akan bergantian menggarap
kebun singkong, mencari air ke dusun tetangga, mengolah hasil panen,
serta menjualnya ke kota terdekat. Tidak ada rasa iri diantara warga
dusun, lantaran anggapan bahwa rejeki sudah diatur oleh Pencipta. Bagi
hasil panen pun dibagikan adil merata melalui musyawarah warga. Adalah
mbah Legi, warga yang dituakan, selalu menjadi pemimpin musyawarah
bagi hasil, bahkan hampir semua musyawarah dusun. Tidak hanya itu,
mbah Legi telah berperan dalam menjaga nilai-nilai tata krama,
tradisi, serta menjadi imam desa dalam kegiatan keagamaan.

Guyub, begitulah kesan yang bisa disematkan untuk kehidupan warga
dusun Kukilo. Tak heran, kala matahari mulai meredup, renyuh tawa
pelepas lelah bekerja selalu menghiasi suasana dusun. Singkong rebus,
singkong goreng, gaplek, gatot, tiwul, dan teh, beberapa jenis
hidangan yang selalu tersaji di beranda setiap rumah dan telah
menemani suasana guyub itu sekian lama. Riuh tawa cengkerama warga
dusun pun tidak pernah berhenti saat gelap menyelimuti dusun, bahkan
semakin menjadi-jadi. Biasanya mereka akan berkumpul di halaman rumah
mbah Legi kala malam, dengan diterangi beberapa lampu teplok, obrolan
demi obrolan akan berlanjut menyusup ke dalam malam yang semakin
larut.

Meskipun mbah Legi sudah wafat sekitar lima bulan lalu, rumah beliau
masih tetap dipadati warga dusun Kukilo setiap malam, bercengkrama
akrab di halaman rumah kecil itu diiringi alunan campursari dari
sebuah radio kuno, sambil sesekali mengenang jasa-jasa mbah Legi.
Rumah kecil itu berdinding kayu jati dan bertipe joglo, dengan
dipayungi oleh kerindangan pohon beringin tua dan beberapa rumpun
bambu, tampak begitu asri dan teduh. Kesan sebagai rumah tua dapat
terlihat dari warna dindingnya yang telah kusam. Secara aturan adat,
rumah mbah Legi ditetapkan sebagai patok dusun, atau dengan kata lain
telah ditetapkan sebagai pembatas antara dusun Kukilo dengan hutan
Singomendem. Warga pun menganggap bahwa semua aktivitas warga harus
dipusatkan di rumah mbah Legi.

Suro dan Lowo, dua orang yang sekarang menghuni rumah peninggalan mbah
Legi. Pakdhe Suro, begitu warga dusun memanggilnya, beliau adalah anak
satu-satunya mbah Legi, dan tampaknya telah dinobatkan oleh warga
dusun sebagai pengganti mbah Legi. Sedangkan mas Lowo, yang merupakan
anak pakdhe Suro dan satu-satunya cucu mbah Legi tampaknya tidak
begitu mewarisi kebijaksanaan kakeknya. Sepeninggal mbah Legi, fungsi
kepemimpinannya telah diambil alih oleh pakdhe Suro, tidak hanya
memimpin dusun Kukilo, beliaupun juga menjadi juru kunci hutan
Singomendem.

Tidak berbeda dengan dusun Kukilo, hutan Singomendem juga mempunyai
kondisi tanah yang tandus dan gersang, sama-sama bertanah kapur. Hanya
pohon-pohon berkayu keras dan semak belukar yang tumbuh di dalam sana.
Namun, hutan itu telah menjadi kebanggaan warga dan sekaligus
dikeramatkan oleh warga dusun Kukilo. Sejarah dikeramatkannya hutan
Singomendem memang belum banyak terungkap, hanya menurut beberapa
warga, hutan Singomendem adalah tempat pertapaan para pendiri dusun
sebelum mereka membangun dusun Kukilo, menurut mereka, keberadaan gua
dan bongkahan batu kali berukuran besar merupakan bukti bahwa tempat
itu adalah tempat pertapaan jaman dulu. Sedangkan beberapa warga
lainnya mengatakan bahwa hutan Singomendem adalah tempat berkumpulnya
arwah leluhur. Sampai sekarang belum ada yang tahu sejarah hutan
Singomendem dan dusun Kukilo sebenarnya.

Hutan Singomendem, tampaknya telah menyandang predikat sebagai hutan
larangan. Berdasarkan aturan tidak tertulis yang dibuat oleh leluhur,
setiap warga dusun Kukilo tidak diperbolehkan mengusik ketenangan dan
kehidupan makhluk hidup di kawasan hutan, atau dengan kata lain tidak
diperbolehkan berburu dan menebang pohon sembarangan. Hanya,
diperbolehkan memanfaatkan dari apa yang hidup di dalam hutan, dan itu
pun harus berdasar pada musyawarah warga. Karena sebagian besar yang
hidup di hutan Singomendem adalah pohon jati, pernah suatu ketika,
beberapa penebang pohon liar dari dusun tetangga nekat masuk ke hutan
dengan niatan untuk menebang jati, akibatnya peristiwa misterius pun
terjadi, beberapa diantaranya serta-merta buta, lainnya pingsan,
kejang, dan akhirnya meninggal dunia. Tidak hanya itu, beberapa
pemburu burung yang nekat masuk ke sana pun dikabarkan mengalami hal
serupa, bahkan ada yang ditemukan tewas dengan luka cakar dan cabikan.
Sesuai tradisi, setelah ada gangguan terhadap hutan Singomendem,
serta-merta warga akan menggelar ritual tolak bala, tepatnya di bawah
pohon beringin tidak jauh dari rumah mbah Legi.

"Siapapun yang berniat jelek di dusun ini dan hutan Singomendem, maka
kejelekan itu akan berbalik", begitu ujar pakdhe Suro.

Musim kemarau panjang tahun ini sama sekali tidak mempengaruhi hasil
panen warga. "Alhamdulillah, dusun tetap raharja, gemah ripah loh
jinawi, masyrakatnya guyub, lantaran warga tetap menjunjung tradisi
adiluhung dan ingat dengan gusti Allah", begitulah ujar pakdhe Suro
ketika ditanya dampak kemarau panjang yang melanda hampir di seluruh
negeri.

Dusun Kukilo memang tipe daerah mandiri dan berdikari, sama sekali
tidak terlihat program-program pemerintah berjalan di wilayah itu,
hanya sebuah tangki air berwarna biru bertuliskan "Proyek Departemen
PU" bertengger tidak jauh dari rumah peninggalan mbah Legi. Menurut
penuturan pakdhe Suro, tangki itu dulunya dilengkapi oleh pipa-pipa
yang mengalirkan air dari pusat penampungan air PDAM di pusat kota
untuk memasok air ke dusun Kukilo, tetapi program pemerintah itu hanya
berjalan dua minggu, pasokan air pun akhirnya terhenti, bahkan sampai
saat ini, tidak pernah ada setetes air pun bantuan pemerintah.
Sehingga, secara bergilir, dengan membawa jeligen-jeligen air, warga
mencari air ke dusun-dusun tetangga untuk ditampung di tempat tangki
air besar itu.

-------------------------

Angin kering yang berhembus siang itu tidak menyurutkan rasa marah mas
Lowo kepada bapaknya, tampaknya akibat larangan pakdhe Suro, mas Lowo
nekat menggebrak-gebrak dinding kayu rumahnya. Menurut warga yang
sedang menggarap kebun singkong, pertikaian siang itu dipicu oleh
niatan mas Lowo yang hendak menebang sebagian pohon jati yang tumbuh
di dalam hutan Singomendem. Entah apa alasan mas Lowo berlaku
demikian, belum ada yang mengetahuinya dengan pasti.

Bukan kali ini saja mas Lowo berbuat kasar kepada bapaknya. Menurut
penuturan warga, sepeninggal kakek dan ibunya, perangai mas Lowo telah
berubah, dia gampang sekali emosi dan melakukan apa saja yang
diinginkannya, suatu ketika dia pernah melubangi tangki air dusun,
lantaran kemauannya tidak dituruti oleh pakdhe Suro, waktu itu dia
meminta sebuah sepeda motor. Entah setan apa yang telah menyebabkan
begitu. Temannya pernah bercerita bahwa kehidupan kota-lah yang telah
mengubahnya. Memang, sejak setahun lalu, mas Lowo pernah bersekolah
dan bekerja di kota yang tidak begitu jauh dari dusun Kukilo. Dia-lah
satu-satunya pemuda dusun yang bersekolah sampai perguruan tinggi kala
itu.

Seminggu yang lalu, dia berhasil menebang dua pohon jati dan akhirnya
menjualnya. Kemarahan warga pun sebenarnya tumpah, tetapi lantaran
mereka masih menghormati keluarga pakdhe Suro, amarah warga pun
teredam. Warga menganggap apa pun makhluk hidup yang hidup di dusun
Kukilo tidak boleh diperlakukan seenaknya, sebatang rumput pun.

------------------------

Setelah terdengar suara pohon tumbang semalam, secara berduyun-duyun
warga mendatangi rumah pakdhe Suro selepas Subuh. Sama sekali tidak
ada yang keluar menghampiri warga dari dalam rumah berdinding kayu
itu, lantaran penghuninya, terkapar lemah tak berdaya. Pakdhe Suro
terlihat terbaring lemah sambil menitikkan air matanya di atas dipan
kayunya. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut
keringnya itu. Hanya sebuah pesan untuk tetap berpegang teguh kepada
nilai-nilai tradisi dan agama.

Setelah mendapat izin dari pakdhe Suro, beberapa warga memasuki hutan
Singomendem, mereka tampaknya menghampiri tempat tumbangnya pohon jati
semalam. Tak berapa lama, mas Keting, salah seorang pemimpin warga
yang memasuki hutan ketika matahari masih merah terlihat tergesa-gesa
mendatangi rumah berdinding kayu bertipe joglo, sambil menggendong
sebuah sosok yang telah dikenali oleh warga yang sejak subuh
berkerumun. Sebuah sosok dengan luka cakaran dan cabikan tajam kuku
tampak tergolek tak berdaya.

"Le, mbah Legi sudah pernah berpesan, jangan sekali-kali mengusik
kehidupan hutan Singomendem", bisik pakdhe Suro ke telinga sesosok
yang tergolek lemah itu.

Senin, 05 Desember 2011

Sebuah Peristiwa di Bukit Sepah

Mendung masih enggan beranjak. Gelondongan-gelondongan kayu yang entah
jenisnya masih teronggok di atas tanah merah basah, bercampur dengan
bangkai pepohonan yang baru saja tumbang. Bau khas bangkai pohon dan
lapisan dalam tanah pun menyeruak menusuk hidung setiap orang yang
sejak pagi berkerumun di tempat itu. Ibarat paduan suara, isak tangis
tengah membahana memenuhi suasana desa sore ini. Gerimis menambah
basahnya wajah-wajah sembap seluruh warga desa yang sejak siang tak
henti-hentinya menitikkan air mata. Tidak hanya itu, kadang
teriakan-teriakan histeris muncul diantara padunya isak tangis dan
suara tonggeret.

----------------------

Fajar bukanlah waktu bermanja bagi warga desa Sukajaya. Dari tua,
muda, dan anak-anak selalu terlihat menyemarakkan suasana fajar.
Tepatnya, mereka selalu bangun sebelum adzan Subuh, setelah itu mereka
akan memenuhi sebuah surau tua yang ukurannya tidak begitu luas,
bahkan sampai-sampai tidak pernah mampu menampung puluhan warga yang
sembahyang, At-Taqwa, begitu tulisan yang terpampang di dinding surau.
Hawa dingin yang selalu menyelimuti desa setiap fajar tampaknya tidak
pernah menyurutkan warga mengawali masa depannya.

Tidak ada peristiwa luar biasa setiap pagi di desa Sukajaya. Seperti
biasanya, riuh gerak warga desa selalu menyambut sapaan mentari yang
masih malu-malu. Kebanyakan dari mereka akan meninggalkan desa ketika
pagi dan kembali lagi kala senja. Menghambur ke kota terdekat, menjual
hasil hutan non-kayu, sebotol madu hutan. Desa madu, begitulah warga
kota menyebut desa Sukajaya, karena mereka menganggap semua warga di
desa Sukajaya bermata pencaharian sebagai pencari, pengolah, dan
penjual madu hutan, walaupun sebenarnya tidak hanya desa Sukajaya yang
warganya bermata pencahariaan seperi itu, desa-desa sekitar desa
Sukajaya juga mempunyai produk berupa madu hutan. Tampaknya madu hutan
hasil warga desa Sukajaya lebih dikenal oleh warga kota. Manisnya
alami, begitulah ujar salah satu pelanggan yang tinggal di dekat pasar
kota.

Mereka terkenal sebagai orang yang bersahaja dan selalu menjunjung
tinggi sopan santun. Materi modern bukanlah sesuatu yang diutamakan
dalam kehidupannya, kondisi ini terlihat dari rumah yang cukup
sederhana, dibangun dari bahan-bahan hutan di sekitar desa mereka dan
bangunan rumah mereka pun mengikuti penampakan lahan, dengan kata
lain, bangunan rumah mereka tidak pernah mengubah dan menyalahi kontur
lahan. Perabotan pun seadanya, tidak pernah terlihat barang-barang
elektronik dan barang mewah lainnya di dalam rumah mereka. Entah
lantaran listrik tidak pernah masuk ke desa Sukajaya atau lantaran
mereka menolak kemewahan dan modernisme. Tampaknya, penolakan terhadap
kemewahan lebih tepat disematkan kepada warga desa Sukajaya. Menurut
salah satu tetua desa, kemewahan materi hanya akan menjauhkan warga
desa dari nilai-nilai budaya desa Sukajaya.

Desa Sukajaya dengan kota terdekat berjarak sekitar tiga puluh lima
kilometer, jarak yang begitu jauhnya tampaknya tidak pernah
menyurutkan warga desa untuk mengarunginya. Bukan keuntungan yang
dicari, melainkan mereka hanya ingin membantu warga kota memenuhi
kebutuhan hidupnya. Mungkin madu hutan yang mereka jual bukanlah
kebutuhan primer masyarakat, tetapi keinginan saling menolong-lah yang
membuat mereka tetap gigih melakoni kegiatan itu setiap hari.
Kadangkala mereka tidak segan-segan membantu meringankan pekerjaan
warga kota. Seperti yang dilakukan pak Sengon, salah seorang tetua
desa, setiap hari sebelum pulang ke desa Sukajaya, beliau selalu
menyempatkan membantu membersihkan pasar tradisional kota. Beliau
tidak pernah meminta imbalan sepeser pun. Kebersihan akan memakmurkan
masyarakat, begitulah ujar pak Sengon ketika ditanya tentangtujuannya
itu. Memang terkesan aneh aktivitas yang dijalani oleh hampir semua
warga desa Sukajaya. Namun, begitulah kehidupan yang harus dilakoni
mereka.

--------------------

Bangunan berdinding anyaman bambu itu tidak begitu luas, mungkin cuma
cukup menampung sepuluh orang dewasa di dalamnya. Namun, dalam luasnya
yang bisa dibilang sempit, riuh bahagia suara anak-anak selalu
terdengar setiap hari. "Rumah Belajar Sukajaya", tulisan besar yang
ditulis dengan spidol hitam di papan kayu tergantung di atas pintu
masuk rumah kecil itu terbaca. Tampaknya rumah belajar telah menjadi
tempat favorit berkumpulnya anak-anak desa Sukajaya kala orang tua
mereka berkarya. Adalah Kang Jaya, seorang sarjana muda yang baru saja
lulus dari sebuah perguruan tinggi di ibukota, bersama dua orang
rekannya, dia membangun rumah belajar di desa Sukajaya. Seperti halnya
warga desa Sukajaya, dia pun sama sekali tidak mengharapkan imbalan
dari warga desa yang anaknya dititipkan di rumah belajar. Pengabdian,
begitulah ujarnya ketika ditanya tentang tujuan pendirian rumah
belajar itu.

Warga desa Sukajaya dengan ramahnya menerima kang Jaya ketika dia
menjelaskan rencananya sekitar sebulan yang lalu. Akibatnya, warga pun
memberikan sedidang tanah yang letaknya tepat di bawah bukit Sepah,
tidak jauh dari surau tua dan saung desa. Tidak hanya itu, warga desa
pun membantu mendirikan rumah belajar satu-satunya di desa Sukajaya.
Kala itu, hampir semua warga mendatangi tempat itu dan mereka pun
bahu-membahu membangun rumah belajar desa Sukajaya. Tidak hanya orang
dewasa, anak kecil dan orang tua pun antusias membangun dan menerima
kehadiran rumah belajar itu. Pak Sengon pernah berujar bahwa dengan
adanya rumah belajar, warga berharap kehidupan desa Sukajaya menjadi
lebih makmur.

Bukit Sepah yang tidak begitu tinggi, tampaknya telah menjadi tempat
yang sakral bagi warga desa Sukajaya. Menurut pak Sengon, sudah
turun-temurun bukit Sepah disakralkan oleh warga. Alasannya pastinya
memang belum diketahui, bahkan warga desa Sukajaya sendiri, lantaran
memang dalam aturan mengatakan bahwa tidak ada yang boleh bertanya
alasannya. Berdasarkan aturan desa, sekitar bukit hanya diperbolehkan
digunakan sebagai pusat sosial budaya masyarakat, sehingga surau dan
saung desa-lah yang berdiri di tempat itu. Dan sejak sebulan lalu,
akhirnya rumah belajar prakarsa kang Jaya pun diperbolehkan berdiri di
sekitar bukit Sepah. Tiga buah bangunan di bawah bukit Sepah tampaknya
telah mengisi kehidupan sehari-hari warga desa Sukajaya selama ini.
Selain kesakralannya, bukit Sepah terkenal sebagai daerah yang masih
menyimpan kandungan logam mulia dan kayu dari pepohonan yang berumur
ratusan tahun. Sehingga tak jarang peneliti-peneliti pemerintah atau
peneliti dari perguruan tinggi mendatangi bukit Sepah. Tidak ada
larangan bagi mereka untuk menginjakkan kaki di bukit Sepah, selama
mereka sopan di sana, begitulah kata pak Sengon.

Tidak hanya anak kecil, warga dewasa pun sering mendatangi rumah
belajar. Walaupun tidak bisa membedakan abjad, mereka terlihat
antusias membolak-balik halaman buku-buku yang tertata rapi di rak
buku rumah belajar. Kadang terlihat senyum mengembang dari bibir
mereka, kadang pula suara tawa memenuhi ruangan rumah belajar yang
tidak luas itu, dan terkadang terlihat muka serius warga saat
membuka-buka halaman buku. Anak-anak pun terlihat ceria menyemut
berkerumun di sekitar rumah belajar. Terlihat kang Jaya dengan
sabarnya mengajari anak-anak desa mengenal huruf dan angka. Kadang
diselingi jalan-jalan berkeliling desa melihat aktivitas warga desa
dan terkadang masuk ke dalam hutan di bukit Sepah. Lelah tampaknya
tidak pernah menyurutkan kang Jaya bermain-main dengan anak-anak desa,
karena memang niat dan tujuan mensejahterakan warga desa Sukajaya
lebih tinggi daripada remeh-temeh nafsu dunia.

Tidak seperti sekolah formal, rumah belajar desa Sukajaya terkesan
lebih santai, tidak ada seragam yang wajib dikenakan. Mereka hanya
diwajibkan mengenakan apa yang mereka punya, tidak boleh beli.
Membekali anak-anak yang menjadi siswanya dengan pendidikan budaya,
budi pekerti, dan lingkungan tampaknya selaras dengan jalan hidup
warga desa Sukajaya. Inilah yang menjadikan kang Jaya diterima
kehadirannya oleh semua warga desa Sukajaya, bahkan dua minggu yang
lalu, pak Sengon, mewakili tetua desa yang lain, telah memberikan
gelar kehormatan kepada kang Jaya.

---------------------

Resah terlihat menyelimuti setiap warga desa akhir-akhir ini. Tidak
seperti biasanya, sejak lima hari lalu, warga tidak beraktivitas
seperti biasanya. Mereka hanya berdiam dan tidak bepergian ke kota
menjajakan botol madu hutannya, bukan lantaran sebuah keengganan,
tetapi lebih disebabkan oleh kegelisahan dan ketakutan yang menghantui
warga sejak lima hari ini. Tepatnya lima hari yang lalu, tersiar kabar
bahwa bupati telah menerbitkan perizinan perusahaan penambang emas
beroperasi di desa Sukajaya, tepatnya di bukit Sepah. Lima hari yang
lalu, beberapa orang ahli geologi telah diterjunkan meneliti kandungan
emas.

Rencana pemerintah kabupaten itu telah menyebabkan ketidak tenangan
kehidupan warga desa Sukajaya. Tiga hari yang lalu, warga memprotes
rencana bupati. Dengan bersenjatakan tongkat bambu, sapu lidi, dan
sapu ijuk, mereka menghadang buruh-buruh perusahaan penambang emas
yang akan menurunkan alat-alat berat. Perang kecil pun terjadi, namun
sayang, gas air mata melumpuhkan semangat warga. Beberapa warga bahkan
terlihat bergelimpangan tak sadarkan diri. Buruh-buruh itu dengan
mudah dan seenaknya melaju menuju bukit Sepah. Secara fisik, warga
desa telah kalah, tetapi semangat mereka tampaknya tidak akan pernah
padam.

Bising gergaji mesin tidak terkalahkan oleh teriakan-teriakan warga
yang sejak pagi membentengi bukit Sepah. Hanya butuh beberapa menit,
puluhan pohon sudah terlihat tumbang. Warga desa tetap diam, sebagian
berteriak, dan sebagian sisanya menangis pilu. Hujan deras pagi ini
tidak menyurutkan semangat warga memprotes peristiwa itu. Sebagian
bukit sudah gundul, terutama bukit yang menghadap ke tiga bangunan
kebanggan warga desa Sukajaya. Tanah bukit Sepah pun dengan mudahnya
dikeruk, hanya demi logam mulia, mereka melakukan perbuatan yang
tampaknya tidak mulia.

--------------

Siang ini, hujan pun semakin menjadi-jadi disertai kilat, gelegar
halilintar, dan mendung tampaknya telah ikut juga memayungi suasana
desa yang kelam. Tepat setelah adzan Dhuhur berkumandang, tanah merah,
sebuah lapisan dalam tanah yang terkeruk dan beberapa gelondongan kayu
menghunjam ke bawah bersama leleran air hujan, menghantam tiga
bangunan yang disakralkan. Jeritan yang muncul serta-merta mengalahkan
bising gergaji mesin dan alat berat, namun tidak begitu lama, seketika
sudah lenyap begitu saja.

Minggu, 04 Desember 2011

Sebuah Kisah Lelaki Renta di Siang Hari

Entah pengaruh pemanasan global atau bukan, udara siang di salah satu
pantai yang letaknya tidak jauh dari ibukota terasa begitu gerah.
Angin memang berhembus, tetapi hanya mengalirkan hawa panas lautan
ibukota. Bau anyir bangkai-bangkai ikan laut yang menggunung bercampur
aroma asin air laut menyesaki hidung setiap orang yang menjejakkan
kaki di daerah itu. Namun, tidak bagi beberapa anak yang belum baligh,
riuh rendah bermain sepak bola diantara jajaran ikan asin yang sedang
dijemur dan gunungan sampah rumah tangga. Beberapa orang yang
tampaknya berkarya sebagai nelayan pun terlihat begitu menikmati
permainan kartunya sambil menunggui perahu-perahu tradisionalnya yang
disandarkan di dermaga sederhana. Terik, gerah, bau anyir, dan
hiruk-pikuk nelayan yang menyapa kehidupan warga setiap siang sudah
menjadi makanan sehari-hari warga yang tinggal di desa Kerapu.

Di tengah-tengah hiruk warga nelayan desa Kerapu, seorang lelaki renta
duduk terdiam sambil bersila di bawah lambaian sebatang nyiur, tidak
jauh dari penjemuran ikan asin. Tidak ada yang peduli dengan apa yang
dilakukan lelaki renta itu, bahkan namanya pun tidak dikenali warga
desa Kerapu. Beberapa warga menganggapnya kurang waras. Bahkan tidak
ada yang berani mendekatinya. Pak Jukung, begitulah namanya dipanggil
oleh warga desa. Mereka menyebut demikian tentu bukan tanpa alasan,
tepatnya sepuluh tahun yang lalu, lelaki tua yang dipanggil dengan
nama pak Jukung diselamatkan seorang warga nelayan dari amukan badai.
Kala itu, dia terbaring tak sadar di dalam jukungnya, terombang-ambing
oleh gelombang laut Jawa. Sejak saat itu, warga desa menganggap pak
Jukung mengalami hilang ingatan, dan tidak hanya itu, omongannya aneh,
lantaran tidak ada warga yang memahami omongannya. Sehingga warga pun
tidak bisa mengorek asal-usulnya, hanya satu yang diketahui warga, pak
Jukung datang dari arah utara.

Dari peristiwa itu, beberapa opini terlontar oleh hampir setiap warga
desa Kerapu. Ada yang bilang bahwa dia salah satu manusia perahu asal
VietNam yang terpisah dari rombongannya ketika badai menghantam laut
Jawa. Warga lain beranggapan bahwa pak Jukung hanyalah seorang nelayan
biasa yang terkena musibah kala itu. Selain itu, warga muda pun tak
mau kalah memberikan pendapatnya, mereka menganggap pak Jukung adalah
korban kejahatan, dengan kata lain percobaan pembunuhan dengan
membiarkannya terapung di atas jukung di tengah laut lepas. Entah
opini mana yang benar, belum ada yang bisa memastikan kebenaran
anggapan-anggapan warga tersebut.

Selama ini sebagian warga memang merasa jengkel kepada pak Jukung
lantaran kebiasaannya yang berbeda dari warga desa lainnya, walaupun
dia tidak pernah merugikan seorang pun. Sikapnya ibarat pertapa, diam
dan bicaranya pun tidak dimengerti oleh warga. Meskipun dikenal
sebagai pribadi yang penuh misterius, dia tak sungkan-sungkan
memberikan senyum ramahnya kepada setiap warga yang ditemui.

Pak Jukung menempati sebuah rumah berdinding anyaman bambu yang
ukurannya tidak begitu luas, sekitar empat kali empat meter. Sudah
sekitar sepuluh tahun rumah itu berdiri, lapuk dan kumuh, begitulah
kesan yang muncul ketika melihatnya. Di kanan-kirinya terlihat
tumpukan bangkai-bangkai ikan yang tampaknya sengaja dibuang oleh
warga di sana. Tidak hanya itu, genangan air laut sisa pasang selalu
terlihat menghiasi lantai rumah pak Jukung, atau dengan kata lain,
pasang air laut sudah sampai ke rumahnya. Rumah kecil itu tampaknya
bukanlah sebuah rumah yang layak huni. Pak Jukung sendiri juga
terkesan merasakan keadaan itu, lantaran dia lebih sering berdiam di
bawah rindangnya pohon waru, nyiur dan sisa mangrove yang letaknya
agak jauh dari rumahnya. Tidak ada belas kasihan dari warga, dalam
kerentaannya, dia dibiarkan hidup seadanya, bahkan setiap hari, pak
Jukung hanya memakan bangkai-bangkai ikan sisa tangkapan nelayan yang
telah membusuk. Dengan tubuh kurus hitam legam namun masih kekar, dia
berjalan menyusuri bibir pantai kala matahari mulai menyapa bumi,
dengan berbekal kantung plastik, dia mengais dan mengumpulkan sampah
yang berserakan di bibir pantai desa Kerapu. Belum ada yang mengetahui
alasan pak Jukung memulung sampah-sampah pantai.

------------------------

Kala terik siang memayungi desa Kerapu, pak Jukung lebih sering
terlihat duduk terdiam sambil mengarahkan pandangannya ke beberapa
batang mangrove yang masih tersisa, dengan ditemani oleh lambaian
nyiur dan rimbun dedaunan pohon waru. Tidak hanya itu, hanya
beralaskan coklatnya pasir pantai, biasanya dia tertidur pulas sampai
adzan Ashar membangunkannya. Selama ini memang tidak pernah ada warga
yang mengusik kebiasaan pak Jukung, entah takut atau mereka
menganggapnya gila. Tiap senja, dia memanjat batang tertinggi pohon
waru dan juga memanjat ranting-ranting rapuh beberapa batang mangrove.
Tersungging senyum bahagia selepas dia menuruni kedua pohon tersebut.

Diumpat dan dicaci, begitulah warna kehidupan pak Jukung selama dia
tinggal di desa Kerapu. Menurut warga desa, pertama kali saat
diselamatkan oleh pak Jangkrik, hampir semua warga desa menolak
kedatangannya, mereka khawatir jika nantinya kehidupan warga desa
Kerapu dipenuhi kesialan. Karena pak Jangkrik-lah, yang merupakan
seorang tetua desa, pak Jukung seperti mendapat perlindungan. Namun,
sejak pak Jangkrik meninggal sekitar empat tahun lalu, dengan bebasnya
warga melontarkan umpatan ketika berjumpa dengan pak Jukung, sampai
saat ini.

Dalam kesendiriannya, biasanya dia berceracau, entah apa maknanya,
tidak ada yang tahu. Matanya terlihat melotot disertai nada bicara
yang meninggi setiap kegiatan memulung sampahnya berakhir, terkesan
seperti orang yang marah, apalagi ketika tongkat kayunya yang
dipukul-pukulkan ke tumpukan sampah plastik. Sering juga dia
berteriak-teriak seperti orang yang kesetanan, sama sekali tidak ada
yang tahu arti teriakannya. Tampaknya memang lebih tepat, dia disebut
sebagai orang gila.

-------------------------

"Oooiiii !", berulang-ulang terdengar teriakan pak Jukung siang ini.
Teriakan yang berbaur dengan deburan ombak dan angin laut terdengar
seperti tangisan pilu seorang yang menunggu orang yang dikasihinya.
Tubuh kurus namun kekar terlihat berdiri diantara pohon waru dan
kelapa, sesekali berlari-lari kecil menghampiri mangrove sambil
berceracau dan berteriak yang tak dipahami oleh siapapun. Benar-benar
aneh, tidak seperti biasanya dia bertingkah. Dari mukanya terlihat
raut kegelisahan. Entah apa yang ada di pikiran pak Jukung siang ini.

Tak berapa lama, dia terlihat mengambil sebuah bangkai ikan dan
kemudian berlari menghampiri sisa mangrove terakhir, dia memanjat dan
diam agak lama di batang teratas mangrove. Terlihat dia menunggui
seonggok anyaman sampah dan ranting di batang teratas mangrove. Entah
apa yang dilakukannya. Tiga orang warga yang tengah memancing di
antara akar mangrove seketika mengetahui aksi pak Jukung. Karena
kebencian yang sudah tertanam dalam hati mereka, serta-merta umpatan
dilontarkan berkali-kali. Seperti biasa, pak Jukung tetap diam dan
sesekali melempar senyum, meskipun dia mendengar dan merasa umpatan
itu diarahakan kepadanya. Entah didasari sebuah niat atau keisengan
belaka, mereka pun mengguncang-guncangkan mangrove dengan
sekuat-kuatnya. "Brukkkk", suara benda jatuh terdengar disambut oleh
suara buih ombak yang pecah. Seketika suara tawa pun berderai disertai
cacian dan makian.

Pak Jukung tersungkur, dia-lah yang terjatuh setelah guncangan
terhadap mangrove yang dipanjatnya, disertai onggokan anyaman sampah
yang ditungguinya. Tidak ada marah dan tidak ada raut muka emosi,
dengan senyum khasnya, spontan dia terbangun dan memeriksa seksama
onggokan yang terjatuh bersamanya. senyum yang tadi mengembang di
bibirnya, tiba-tiba berubah, tangis terpecah, air mata menetes
membasahi mukanya yang bercampur dengan basah lumpur pantai yang
sedari tadi menempel di mukanya. Tangan kanannya memegang sebuah
makhluk mungil yang sekarang sudah menjadi bangkai, tangis pun
bertambah memecah kesunyian suasana pantai. dia berlari ke arah pohon
waru tempat dia berdiam dengan mendekap bangkai makhluk kecil itu.

-----------------------

Lengkingan parau terdengar memecah riuh suara angin laut siang ini,
berulang-ulang, lengkingan itu terdengar menyayat hati. Pak Jukung
dengan sisa tenaganya, berusaha mencari arah sumber suara itu. Raut
mukanya begitu gelisah, kebingungan, seperti mencari sesuatu yang
hilang. Lengkingan itu semakin lama semakin melemah. Kadang hilang,
kadang muncul lagi. Siang ini begitu terik menyilaukan mata, tetapi
tidak untuk pak Jukung, dia tetap berlarian mencari asal suara yang
tampaknya telah dikenalnya.

-------------

Dengan menaiki sebuah perahu kecil, pak Jukung menghampiri KM. Mawar,
sebuah motor diesel yang tengah diam di atas laut tidak jauh dari
bibir pantai. Tak berapa lama, perahu yang dinaikinya telah mendekati
KM. Mawar. Pak Jukung terlihat berbicara dengan nelayan di KM. Mawar,
tetapi disambut oleh sebuah tamparan ke muka pak Jukung oleh salah
seorang nelayan. Tampaknya cekcok tengah terjadi di sana. Entah
masalah apa yang sedang terjadi di sana. Terlihat pak Jukung berusaha
meraih seekor burung berwarna coklat putih yang tersangkut di mata
kail yang dipegang oleh salah seorang nelayan di KM. Mawar. Tampaknya,
mereka adalah nelayan yang sering menangkapi burung-burung laut dengan
mata kail, dan siang ini sepertinya tak sengaja si burung elang bondol
tersangkut kail mereka. Cekcok pun terlihat masih berlangsung.
"Byuuurrrr", suara benda tercebur terdengar sampai bibir pantai. Suara
itu berasal dari pak Jukung yang tercebur ke dalam laut yang sedang
bergelombang. Dia tampaknya kalah dari cekcok tersebut, dan salah
seorang dari nelayan di KM. Mawar mendorongnya sampai terjatuh ke
laut. Bunyi kecipak air laut yang menandakan sebuah kepayahan seorang
anak manusia seketika memenuhi suasana siang ini. Lima menit
berselang, suasana sunyi khas pantai kembali menyapa desa Kerapu.

----------

Senja ini, tak terlihat lelaki renta memanjat pohon waru dan mangrove.
Hanya terlihat seekor elang bodol betina yang lemah dengan luka sobek
di dadanya terikat di bawah pohon waru.

Jumat, 02 Desember 2011

Pak Kalong dan Si Oto, Sebuah Kisah

Seperti tengah malam sebelum-sebelumnya, suasana sekitar tugu Kujang
memang selalu terkesan sunyi, hanya sesekali terdengar deru kendaraan
pribadi dan angkutan masal dengan shift malam. Kadang sesekali
terlihat gerombol orang yang mencari penghidupan di saat lelap
merangkul mimpi sebagian besar manusia. Pusat kota Bogor di kala malam
memang tidak seaktif saat matahari bersinar penuh, hawa dingin dan
kelip redup lampu-lampu kota tampaknya telah menidurkan sebagian besar
penghuninya. Namun, tidak untuk pak Kalong, dengan sorot mata yang
masih fokus, dia terduduk diam di pinggiran trotoar di seberang simbol
kebanggan warga Bogor, sambil terus memandang ke arah rerimbunan pohon
di area Kebun Raya Bogor. Belum ada yang tahu apa yang dilakukannya
setiap malam di tempat itu. Beberapa sopir angkot berujar bahwa pak
Kalong mengalami gangguan kejiwaan, sedangkan yang lain bercerita
bahwa pak Kalong sedang menunggu kekasihnya yang menurut mereka telah
menjadi penunggu salah satu pohon besar di dalam Kebun Raya Bogor,
entah apa maksudnya. Tubuhnya diam tak bergerak dan hanya kepalanya
yang bergerak mencari-cari sesuatu di atas pohon, begitulah kesan yang
tertangkap ketika melihat sosoknya setiap malam. Dia akan beranjak
ketika adzan Subuh mulai berkumandang.

Tampaknya tidak ada yang tahu jati diri pak Kalong, beberapa warga
hanya mengenal pak Kalong sebagai seorang tukang cukur yang sering
mangkal di sekitar pagar Kebun Raya Bogor. Beberapa orang yang menjadi
pelanggannya sering melontarkan pujian bahwa pak Kalong adalah tukang
cukur terbaik di Bogor. Kalong, sebenarnya bukan nama sebenarnya,
warga yang kebetulan pernah berinteraksi dengannya-lah yang
memanggilnya dengan sebutan pak Kalong. Mereka menganggap nama Kalong
sangat cocok disematkan pada lelaki paruh baya bertubuh kurus itu,
lantaran kebiasaan hidupnya yang dinilai berbeda dengan sebagian besar
orang. Tidak pernah tidur ketika malam menjelang, padahal sebenarnya
dia juga tidak tidur sepanjang siang karena pelanggannya yang datang
silih berganti. Anggapan warga yang dialamatkan kepada pak Kalong
nampaknya didukung oleh kebiasaan pak Kalong yang selalu menghindar
dari sengatan mentari, baik pagi, siang ataupun sore. Rasa-rasanya
keadaan itu bukanlah keunggulan yang wajib dibesar-besarkan, tetapi
keadaan itu tampaknya telah menyiksa pak Kalong sampai saat ini.
Secara fisik, dapat terlihat jika pak Kalong bukanlah tipe orang yang
suka mengumbar kata-kata. Dia hanya berbicara seperlunya kepada
pelanggannya dan orang-orang yang dijumpainya, meskipun begitu, mereka
tetap menganggap pak Kalong sebagai pribadi yang ramah dan dermawan.
Pernah suatu ketika, pak Kalong harus memberikan seluruh
penghasilannya hari itu kepada seorang bapak tua yang mengaku tersesat
dalam hiruk kota hujan, tidak hanya itu, akhirnya pak Kalong pun
mengantarkannya sampai ke rumah asal bapak tua.

Meskipun banyak warga yang menyukainya, banyak pula warga yang
membencinya. Dengan tampilannya yang terkesan lusuh, kaos berlogo
golkar kumal dengan celana pendek bermotif loreng tentara selalu
dikenakannya tiap hari. Alasannya mungkin sepele, dia tidak memiliki
pakaian yang layak dikenakan setiap hari. Tidak hanya itu, bau badan
yang keluar dari tubuh kurus itu pun telah menyebabkan dia dijauhi
oleh orang lain, bahkan rekan kerjanya sendiri. Senyum ramah
rasa-rasanya tidak pernah absen dari wajah pak Kalong, walaupun
sikapnya yang pendiam lebih mendominasi sikap hidupnya. Pujian dan
makian tampaknya telah dijadikan makanan sehari-hari, tidak ada kesan
bahagia, marah, atau sedih, dia hanya diam dan tersenyum.

------------------------

Malam semakin larut, tidak ada perubahan gerak-gerik, hanya kepalanya
beserta bola matanya yang terus bergerak mencari-cari sesuatu. Dengan
bersila, dia biasanya menembangkan lagu-lagu kenangan dan terkadang
juga lagu-lagu Sunda. Seringkali beberapa preman yang kebetulan lewat
tempat itu mengasarinya, bahkan meminta uang penghasilannya. Tidak
hanya itu, terkadang beberapa sopir angkot pun berlaku demikian.
Dengan sukarela, pak Kalong selalu menuruti kemauan siapapun yang
meminta sesuatu darinya, karena dari penuturan pak Jambu, salah satu
rekan kerja dan sahabat dekatnya, ikhlas adalah prinsip hidup pak
Kalong.

Siulan-siulan panjang dan beberapa teriakan panggilan selalu
mengiringi kebiasaan anehnya. "Oto, Oto, Oto", tiga kali panggilan
selalu terdengar setiap satu jam sekali. Kebiasaan itu semakin
menjadi-jadi sejak satu minggu yang lalu, walaupun terjaga setiap
malam mungkin sudah mendarah daging sejak dia masih muda. Kadang
teriakan panggilan itu terkesan pilu dan menyayat hati, dan biasanya
diselingi dengan tangisan. Oto, nama yang selalu dipanggilnya tiap
malam tampaknya sebuah nama yang sangat berarti baginya, entah teman,
saudara, keluarga, atau barangkali kekasih.

-----------------------

Pinggiran atau tepatnya bawah pagar taman kebun prakarsa Reinward itu
tampaknya telah menjadi rumah tinggal bagi pak Kalong dan pak Jambu.
Hanya bermodalkan tikar, bangku kayu yang dibuat alakadarnya, dan
peralatan cukur sederhana, kehidupan mereka pun bisa berlangsung
sampai sekarang. Jika ditanya tentang keluarga atau sanak saudara,
serta merta mereka akan mengalihkan pembicaraan, terkesan enggan untuk
mengisahkannya, sehingga tidak ada yang mengetahui asal muasal mereka
berdua. Mereka tampaknya korban derasnya perkembangan kota hujan,
meskipun begitu tidak pernah terdengar keluhan dari mulut mereka
berdua, bahkan raut kelelahan pun terlihat tersembunyi dalam
keramahannya. Meskipun sudah hidup bersama dan berkawan dekat, pak
Kalong dan pak Jambu mempunyai kebiasaan yang sangat berbeda. Pak
Jambu lebih bersikap layaknya orang-orang kebanyakan.

Menurut pak Jambu, Oto adalah kawan dekat pak Kalong selain pak Jambu
sendiri, sejak dia tinggal di tempat itu, si Oto biasanya keluar saat
malam hari. Namun, untuk detil kisahnya, pak Jambu enggan
menceritakannya. Hanya menurut penuturannya, sudah seminggu ini pak
Kalong tidak menjumpai Oto. Biasanya si Oto akan menemui pak Kalong
setiap tengah malam, tentunya setelah pak Kalong menembangkan sebuah
lagu. Selama seminggu inilah pak Kalong semakin dihinggapi kecemasan,
walaupun kadang kecemasan itu tertimbun oleh kerutan-kerutan wajahnya
yang bersahaja.

Oto biasanya akan muncul diantara pohon angsana, tanpa suara, dia akan
menyambut tembang-tembang yang dilontarkan oleh pak Kalong. Kira-kira
begitulah kehidupan pak Kalong sehari-hari sebelum dia kehilangan si
Oto. Bertemu Oto adalah kebahagiaan pak Kalong yang tidak akan
tergantikan oleh apapun, bahkan sekarung emas. Tampaknya tidak ada
yang peduli dengan kehidupan Oto, bahkan pak Kalong sendiri, mereka
adalah bagian dari ornamen sebuah kota.

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga malam, masih terlihat pak Kalong
bersila seperti seorang pertapa, hanya terlihat wajah pak Kalong yang
sudah basah oleh air mata. Udara dingin semakin menusuk tulang,
bahkan angin pertanda akan turunnya hujan pun sudah berhembus, tetapi
pak Kalong masih tidak beranjak. Dia masih setia menunggu kehadiran si
Oto di penghujung malam, mungkin dia beranggapan si Oto malam ini akan
keluar sebelum kumandang adzan Subuh.

-----------------------

Hari jum'at menjadi hari pelesir bagi pak Kalong. Biasanya dia akan
berkunjung ke pasar Kebon Kembang, seperti biasanya, dia akan
membelanjakan uangnya untuk membeli kebutuhan pekerjaannya dan
terkadang hanya berjalan-jalan menyusuri riuh kios-kios pedagang
pasar. Biasanya, pak Kalong akan berangkat dengan berjalan kaki
sebelum matahari menampakkan wajahnya. Dia pun akan mengenakan pakaian
terbaiknya, baju lengan panjang bermotif kotak-kotak kusam, dan celana
hitam yang telah memudar, serta topi dan kacamata hitam untuk
menghindari kambuhnya penyakit akibat sengatan matahari. Namun, ada
yang berbeda di hari Jum'at ini, kecemasan dan kegelisahan tampaknya
telah mempengaruhi rutinitas pelesiran Jum'at, pak Kalong terlihat
masih tertidur di atas tikar lusuhnya, meskipun mentari sudah menyapa
badannya yang sebenarnya tidak mampu menerima sapuan hangat mentari.
Capek dan kelelahan setelah kegiatan malamnya tampaknya menjadikan
tubuhnya terbaring tidak mengindahkan sapaan mentari dan geliat pagi
kota hujan.

Bukan pak Kalong namanya jika semangatnya padam begitu saja, sekitar
pukul delapan pagi, dia melangkahkan kaki menuju pasar Kebon Kembang.
Di Jum'at ini, dia hanya menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan
menyusuri gang-gang sempit diantara kios-kios pedagang, terkesan tidak
ada tujuan. Setelah menelusuri hampir sebagian gang pasar, tak berapa
lama dia berhenti di depan kios penjual burung dan perlengkapannya.
Tiba-tiba terdiam kaku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dengan
langkah berat dia berusaha mendekati sebuah sangkar burung yang berisi
beberapa ekor burung. Tidak sampai tiga langkah, dia terjatuh dan
terlihat mengerang. Pemilik kios tampaknya merasa kebingungan melihat
peristiwa siang ini, terlihat dia memanggil-manggil orang yang
kebetulan lewat depan kiosnya. Akhirnya beberapa pembeli, pengunjung,
dan pedagang pasar lainnya menghampirinya, mengerubutinya seolah-olah
ingin tahu apa yang tengah terjadi. Tanpa menolong.

Tidak ada seorangpun yang membantunya berdiri ataupun menenangkannya.
Pak Kalong terus mengerang dan menangis pilu sambil menunjuk-nunjuk
sangkar burung di depannya, kadang diikuti sesak napas. Kumpulan orang
yang mengerubutinya mungkin menganggapnya sebagai orang yang sudah
kehilangan kewarasannya. Dia tetap mengarahkan telunjuknya ke arah
sangkar burung itu, terlihat matanya melotot hampir-hampir bola
matanya keluar dan sesekali diikuti kekejangan.

Tidak ada pertolongan sama sekali, bahkan pemilik kios burung berusaha
mencari petugas keamanan untuk mengusir pak Kalong. Kekejangan demi
kekjangan menjalari tubuh kurus berbalut baju lengan panjang
kotak-kotak kusam dan celana hitam pudar. Keringat telah menggenangi
lantai pasar Kebon Kembang tempat dia terbaring jatuh. Tak berapa
lama, mata yang tadinya sempat hampir copot bola matanya serta-merta
terpejam. Tidak hanya itu, tubuh yang mengejang dengan tiba-tiba
berubah melemas, bahkan bisa dibilang kesadarannya telah melayang
pergi. Tidak ada tindakan sama sekali dari orang-orang di sekitarnya.
Entah apa yang menyebabkan peristiwa yang menghebohkan siang ini,
belum ada yang tahu, bahkan belum ada yang melontarkan opininya.
Sangkar yang ditunjuk oleh pak Kalong berisi seekor burung celepuk
reban dan dua ekor burung gagak. Sangkar itu tidak begitu luas,
idealnya hanya untuk dihuni oleh satu ekor burung. Si burung celepuk
reban dengan tubuh mungilnya terlihat kepayahan, terinjak-injak oleh
dua ekor gagak dan terlihat luka-luka bekas patukan, sayapnya pun
terlihat terkulai lemah. Tampaknya dua makhluk di pasar Kebon Kembang
siang ini, lelaki paruh baya dan seekor celepuk reban, tengah merejan
menunggu hidup dan matinya.