Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Juni 2021

Tolak Ekosida

Ketika mendengar istilah "genosida", pikiran kita pasti menerawang mengenai bentuk kekejaman yang dilakukan oleh kelompok manusia terhadap kelompok manusia lainnya.  Tentunya kita semua mengutuk kekejian genosida ini. Lantas bagaimana dengan istilah "ekosida"?


------------------


Saat penulis masih bersekolah dasar, antara pertengahan sampai menjelang akhir tahun 1990; ada suatu rasa kecintaan terhadap negara bangsa ini yang begitu membuncah. Kecintaan tersebut tidak lebih karena kecintaan kepada unsur-unsur alami penyusun negara yang membentang dari Sabang sampai Merauke, yakni biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Hanya biodiversitas dan yang terkait dengan biodiversitas (misalnya budaya dan tradisi lokal) yang membuat penulis mencintai negeri ini, tidak lebih.


Opini penulis, negeri dan pemerintahan tentunya berbeda. Istilah negeri tentunya lebih luas daripada sekedar pemerintahan. Ibarat penginapan, negeri adalah fisik penginapannya dan pemerintah adalah pengelolanya. Jika kita mencintai suatu negeri, belum tentu kita bisa pro atau setuju dengan pemerintahnya. Banyak yang beranggapan jika kita mencintai negeri ini, maka kita harus pro kepada pemerintah yang sah. Harusnya dikembalikan lagi kepada esensinya, kita mencintai negeri ini beserta budaya dan kearifan lokalnya, tapi kita patut menolak apabila pengelola berlaku tidak adil kepadanegeri ini dan budayanya; bahkan kita bisa saja melawan jika pengelola berlaku eksploitatif dan destruktif. 


Terkait biodiversitas atau keanekaragaman hayati, tampaknya ada upaya eksploitatif dan merusak yang berlebihan yang dilakukan oleh korporasi-korporasi besar pertambangan dan perkebunan akhir-akhir ini. Korporasi besar pertambangan dan perkebunan tentunya telah mendapat restu dari pengelola negara ini untuk berlaku demikian. Kelakuan seperti ini ya mungkin saja sudah ada sejak republik ini menggandeng tangan kapitalis pada awal orde baru berkuasa, dan semakin menjadi-jadi akhir-akhir ini. 


Mengerikan, itulah satu kata yang bisa terucap. Inti dari segala inti kegiatan mereka adalah mendapatkan cuan, dan tentunya tidak ada kepedulian akan kelestarian biodiversitas beserta unsur terkaitnya (budaya, tradisi dan kearifan lokal). Restu dari pengelola adalah kunci utama kelakuan buruk korporasi tambang dan perkebunan. Menurut opini penulis, si pemberi restu tak ubahnya seperti kaum-kaum penjajah jaman dahulu kala, yang memaksa masyarakat lokal merelakan tanah tumpah darahnya untuk diduduki, dan sering juga kekuatan para-militer atau militer dikerahkan untuk memuluskan kelakuan buruk tersebut. 


Dapat dibilang sudah keterlaluan ketika aktivitas tambang dan perkebunan menggusur biodiversitas negeri ini. Inilah sebentuk Ekosida yang menurut opini penulis akan lebih ganas dan keji dari genosida. Pada ekosida kali ini, semua unsur kapitalis dan pemerintah beserta aparatusnya bersekongkol. Kondisi seperti ini akan menjadikan kerusakan besar-besaran biodiversitas negeri ini dan mematikan budaya serta kearifan lokalnya. Tidak hanya itu saja, perlahan-lahan akan mematikan masyarakat di dalamnya. Sungguh keji.


Kita patut menolak, karena kita lebih cinta kepada negeri ini daripada mereka.

Selasa, 13 Oktober 2020

Apakah Demo-nya Menyentuh Esensi Omnibus Law Cilaka?

 Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja masih menjadi polemik hingga tulisan singkat ini ditulis. Banyak penolakan oleh hampir semua unsur masyarakat. Penolakan yang penulis anggap wajar dan sangat wajar mengingat proses pengesahan yang bisa dibilang sangat aneh. Ada yang bilang tidak ada komunikasi ke masyarakat terdampak, meskipun ada yang bilang sudah dikomunikasikan, lalu pengesahan yang terburu-buru padahal Omnibus Law ini berjumlah ratusan pasal dan ratusan halaman, pengesahan di waktu yang mengindikasikan Omnibus Law ini seperti pesanan, kemudian pasal-pasal yang terkait kelas pekerja dan lingkungan hidup yang dinilai bermasalah. Dan anehnya pengesahan terhadap draft yang masih simpang-siur. Bahkan masyarakat tidak memiliki rujukan draft mana yang diketok palu waktu itu. Bahkan sampai tulisan ini dibuat, draft Omnibus Law tersebut katanya masih direvisi dan dirampungkan. Kok aneh ya.


Masyarakat pekerja dalam hal ini buruh sebagai masyarakat terdampak melakukan demonstrasi meminta legislatif dan eksekutif mencabut pengesahan draft UU ini. Demo terjadi hampir di seluruh Indonesia, dan mahasiswa pun ikut bergerak. Semua masyarakat terdampak UU ini, yang banyak dibilang UU Cilaka ini. Lingkungan hidup akan merana, dampak terhadap lingkungan hidup akan mengena di semua lapisan masyarakat negeri ini. Oligarki akan ongkang-ongkang kaki. 


Demo oleh buruh, mahasiswa dan masyarakat kelas bawah yang telah terjadi merupakan bentuk tulus penyampaian kegelisahan mereka terkait UU Omnibus Law Cilaka ini. Meskipun draft mana yang dipakai masih simpang-siur (harusnya karena draftnya belum dishare ke publik, polisi tidak bisa menganggap hoax terhadap draft UU tersebut adalah hoax). Penulis beropini, demo tersebut adalah bentuk tulus penyampaian kegelisahan mereka, ketika jalur resmi bisa jadi tidak direspon dengan baik oleh pembuat kebijakan. 


Demo pun masih bergulir, dan di minggu ini (minggu ke-3 Oktober 2020), demo dilanjutkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang penulis anggap berbeda dari niatan demo sebelumnya. Penulis merasa ada sesuatu yang mendasari mereka di demo kali ini, ibarat aji mumpung, dengan isu liar UU Omnibus Law Cilaka ini, mereka melancarkan “syahwat” keinginan berkuasa. Yang penulis rasakan, demo mereka tidak menyentuh esensi dari penolakan UU Omnibus Lawa Cilaka, tetapi malah ke perebutan kekuasaan. Niatan ini tentu menurut penulis sangat berbanding terbalik dari demo sebelumnya yang niatnya murni terhedap esensi UU Omnibus Law Cilaka.


Untuk penutup, penulis tidak berharap banyak pada pemerintah negeri ini.


Salam,

Penulis


Jumat, 09 Oktober 2020

Narasi Memuakkan Bulan September

Bulan September adalah bulan yang riuh di Indonesia, bukan karena hujan di bulan September. Melainkan karena sejumlah orang atau kelompok unjuk gigi dengan memanfaatkan momen yang pernah terjadi 55 tahun lalu. Namun, menurut penulis pribadi, momen yang dimanfaatkan tersebut berasal dari tafsir sejarah rezim orde baru.


Peristiwa G30S/PKI yang merupakan sebuah peristiwa kelam dalam perkembangan Republik Indonesia. Banyak tafsir atau versi sejarah mengenai peristiwa akhir September 1965 tersebut; baik dari akademisi yang netral maupun dari kelompok rezim yang ingin berkuasa saat itu yang tentu saja ada kepentingan di dalamnya. Namun, fakta di lapangan saat itu, memang terjadi peristiwa "berdarah-darah" saat akhir September 1965. Ya itu fakta di lapangan, tidak bisa dipungkiri,  tetapi yang mendasari fakta tersebut masih dan terus dikaji oleh akademisi ataupun para peminat sejarah.

Sebaiknya yang menjadi pemikiran bersama mengenai peristiwa tersebut bukan saja peristiwa di akhir September 1965, tetapi juga peristiwa sebelum dan sesudahnya, yang faktanya juga "berdarah-darah". Sebelum peristiwa 65, memang ada pemberontakan PKI yang sangat "berdarah-darah"; kemudian setelahnya, ada peristiwa yang cukup kelam, lebih "berdarah-darah" lagi, selain pembunuhan fisik masyarakat sipil yang dianggap kiri atau "berbau" komunis oleh rezim orde baru, juga terjadi pembunuhan karakter keturuan-keturunan mereka yang dianggap kiri. Ini lebih peristiwa kemanusiaan akibat politik praktis saat itu.


Pemerintahan atau rezim orde baru pun akhirnya membuat narasi sejarah mengenai peristiwa tersebut, sebuah narasi dari tafsir tunggal, tafsir yang wajib diikuti oleh seluruh warga negara. Jika ada tafsir lainnya sudah pasti diharamkan oleh rezim orde baru saat itu. warga negara hanya "manut", bahkan mungkin candaan yang mengandung kosakata "komunis, marxis, PKI" sudah pasti tabu. Guru sejarah mengajarkan apa yang ada di dalam text book yang sudah pasti sejarah versi orde baru, tidak berani bermain logika, tidak berani mempertanyakan apa yang ada di benaknya, dan pasrah melihat murid-muridnya menghapal mati apa yang tertera di text book tersebut. Literatur dan bacaan lainnya yang dianggap "kiri" dimusnahkan, tabu membaca literatur-literatur sejarah dari sumber selain pemerintah. Pemerintah orde baru melanggengkan kekuasaannya dengan cara memelihara narasi-narasi tentang komunisme dan PKI. Narasi yang diciptakan umumnya narasi yang seram dan orang-orang komunis diibaratkan seperti mesin pembunuh. Narasi ini pun diperkuat dengan diciptakan film mengenai G30S PKI pada tahun 1980-an dan wajib diputar oleh stasiun TV.


Karya film adalah sebuah karya seni yang sepatutnya diapresiasi tinggi-tinggi. Karya film mengenai pemberontakan PKI G30S juga harus diapresiasi tinggi. Karya tersebut memang hadir di tengah situasi rezim orde baru dengan tafsir dan narasi tentang komunis dan PKI khas orde baru. Yang menjadi "mengerikan" adalah ketika masyarakat yang menontonnya tidak memiliki kemampuan berpikir kritis, karena berpikir kritis adalah subversif waktu itu, maka yang terjadi adalah propaganda "nasionalisme" khas orde baru yang berjalan dengan mulus.


Lalu setelah rezim orde baru tumbang, dan sampai saat ini, narasi berdasar tafsir tunggal rezim orde baru masih saja riuh kala memasuki bulan September. Sejak zaman reformasi, harusnya cara berpikir kritis mulai berkembang di masyarakat karena semua literatur mudah diperoleh, dibaca, dipelajari dan didiskusikan, tidak ada yang tabu. Seharusnya, saat ini di tahun-tahun 2015-2020-an, kita menikmati pesatnya berpikir kritis masyarakat Indonesia. Namun, ternyata toh sama saja atau bahkan mundur, entahlah. 


Narasi kebangkitan PKI akhir-akhir ini sungguh-sungguh memuakkan. Dunia sudah banyak berubah, lompatan teknologi dan cara berpikir manusia sudah sebegitu luar biasa, tapi masih saja masyarakat di Indonesia berkutat dengan narasi-narasi yang tidak masuk akal. Bagi masyarakat yang bebal, narasi ini bisa masuk bahkan mungkin bisa memobilisasi massa untuk bertindak sesuka hati menghakimi seorang atau kelompok yang mereka anggap "kiri". Dan narasi "bego" ditambah dengan kelompok masyarakat bego dan bebal merupakan santapan yang nikmat bagi para pengejar popularitas ataupun pengejar kekuasaan yang berlindung dalam sistem demokrasi. Jika masif, menurut penulis, oligarki-lah yang bermain di belakang narasi tersebut.


Di bulan ini, harusnya kita sebagai masyarakat Indonesia selalu berpikir, apa yang telah terjadi sebelum, saat dan setelah 1965. Semua peristiwa tersebut adalah peristiwa menjijikkan yang menghancurkan kemanusiaan. Peristiwa yang oleh penulis "dikangkangi" oleh oligarki-oligarki yang ingin bercokol di republik yang masih berumur muda. Semua korban adalah manusia dan warga negara Indonesia dengan nasionalisme sesuai levelnya masing-masing; baik itu pengurus PKI, warga simpatisan PKI, kalangan umat beragama, orang yang dituduh PKI, tentara serta jenderalnya. Kita harus berpikir sejenak, "kemanusiaan"-lah yang seharusnya menjadi kepedulian kita bersama saat kita memperingati Kesaktian Pancasila 1 Oktober setiap tahun.


Jangan sampai narasi yang ada saat ini, semakin besar karena medsos dan banyak yang menumpanginginya, menjadi tragedi "berdarah-darah" lagi. Zaman sudah berubah, saatnya kita semua mengambangkan penalaran kritis dan logika kita untuk menjadikan planet bumi sebagai tempat ternyaman untuk ditinggali. Lawan oligarki di sekitar kita, karena bukan PKI yang bangkit, tetapi oligarki yang semakin membesar saat ini.


NB : Opini ini sudah saya tulis pada pertengahan September 2020.

Rabu, 30 Juli 2014

Mari Kita Menolak Penambangan Karst Rembang

Sebuah poster mengenai dampak industri terhadap kelestarian lingkungan hidup yang ditempel di salah satu tembok bangunan di kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (30/7/2014).

Pro dan kontra masih mewarnai pemanfaatan karst Kabupaten Rembang oleh PT. Semen Indonesia. Berbagai aksi penolakan pun diperlihatkan oleh warga Rembang, demonstrasi dan pemasangan poster-poster terkait penolakan adalah salah satu aksi yang sering dilakukan oleh warga yang kontra pembangunan pabrik semen. Tidak bisa dipungkiri bahwa kawasan karst merupakan kawasan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi industri semen. Batu gamping yang merupakan penyusun bentang alam karst merupakan penghasil kalsium karbonat, dimana hampir 70 – 80 persen bahan baku semen merupakan batu gamping.  Namun, kawasan karst juga mempunyai nilai lingkungan yang tinggi, yakni sebagai kawasan penyimpan air tanah dan perlindungan biodiversitas atau keanekaragaman hayati yang tinggi. Nilai lingkungan tersebut sangatlah penting bagi keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan kehidupan ekosistem sekitar kawasan karst.

Memang menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah daerah kabupaten Rembang dan propinsi Jawa Tengah, mengingat kedua wilayah ini sangat membutuhkan peningkatan pendapatan asli daerah. Namun, jika ditilik lebih lanjut di masa sekarang dimana pengalaman-pengalaman sebelumnya bahwa pemanfaatan kawasan lindung untuk industri selalu menyisakan kerusakan lingkungan yang masif, maka menurut hemat penulis, pemanfaatan kawasan karst Rembang dan pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia sudah sepatutnya harus dihentikan. Meskipun PT. Semen Indonesia mengatakan bahwa pembangunan usahanya sudah mengantongi dukungan dari pejabat-pejabat di lingkup pemerintah kabupaten dan propinsi.

Investasi industri semen memang sangat besar nilai ekonominya, tetapi investasi kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati justru sangat besar nilainya, baik itu nilai ekonomi maupun non-ekonomi. Pemanfaatan kawasan lindung oleh industri tambang selalu menyisakan efek samping yang tidak begitu kecil, misalnya saja polusi, hilangnya sumber air, kekeringan, serta rusaknya lahan-lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Efek samping tersebut sangatlah tidak berimbang dengan keuntungan ekonomi yang dihasilkan industri tersebut. Memang, secara hukum, pihak industri dan pihak pemerintah (propinsi dan kabupaten) memegang kunci utama bagi keberlanjutan usaha ini. Namun, mereka seharusnya bisa mengerti dan paham mengenai kearifan lokal masyarakat sekitar dan masalah kelestarian lingkungan. Mereka sudah seharusnya menjadi kawan bagi masyarakat awam dalam membangun wilayah yang selaras dengan kearifan lokal dan kelestarian lingkungan hidup. Mereka dengan kebijakannya bisa mengubah itu semua.

Namun, apa yang diperbuat pemerintah (propinsi dan kabupaten) selalu bertentangan dengan aspirasi masyarakat yang dipimpinnya. Menurut hemat penulis, pemerintah harus memperhatikan UUNo.  32 tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ia bisa berupa peran pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan dan menyampaikan informasi dan atau laporan.

Menurut pendataan Aliansi Warga Rembang Peduli Pegunungan Kendeng (AWRPPK), telah ditemukan bukti-bukti lapangan di kawasan cekungan air tanah Watuputih Rembanng, yakni 109 mata air, 49 goa, dan empat sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding goa. Dari data ini sudah sepantasnya pemerintah propinsi Jawa Tengah dan kabupaten Rembang berpikir ratusan bahkan ribuan kali untuk menerbitkan ijin pemanfaatn karst kepada industri semen.

Ini adalah lebih kepada persoalan kelestarian lingkungan hidup, sudah sepantasnya kita semua berpikir ulang bagaimana kita memperlambat laju kerusakan lingkungan hidup, karena sejatinya kelestarian lingkungan hidup lambat laun akan menurun juga. Di tangan manusia lah kunci kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati. Jika penambangan akan menghasilkan untung besar dalam jangka pendek, maka melestarikan lingkungan hidup akan menghasilkan untung besar dalam jangka panjang, dan semua lini kehidupan akan berjalan baik. Dan satu lagi, negeri kita berdiri karena kekayaan alamnya, kekayaan keanekaragaman hayatinya, kearifan lokal masyarakatnya, serta pertaniannya (dalam arti luas), negeri kita bukan berdiri dari industri perusak alam dan masyarakat bermental buruh.

Kalau penulis tidak salah ingat, pemerintah pusat pernah berujar mengenai swasembada di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan yang harus diraih oleh bangsa ini. Lalu, mengapa tidak kita manfaatkan kawasan sekitar lindung karst untuk mendukung “swasembada” di bidang tersebut. dengan teknologi yang dipunyai oleh anak-anak bangsa sudah seharusnya kita mampu, mengingat ribuan sarjana dari bidang tersebut tersebar di negeri ini. Jika tidak keberatan, penulis sampaikan, marilah kita hentikan penambangan karst yang dilindungi atau karst yang memang nyata-nayata mempunyai nilai-nilai keanekaragaman hayati. Mari kita beralih kepada pembangunan wilayah yang berorientasi kepada kelestarian lingkungan hidup.


Salam Lestari !!!

Kamis, 24 Juli 2014

Kesejahteraan Satwa dan Kelestarian Keanekaragaman Hayati Indonesia



Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal sebagai megabiodiversity country atau negara yang mempunyai kekayaan hayati tertinggi di dunia. Mengutip dari buku Biologi Konservasi karya Indrawan M, dkk (2007); penyebab tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia diantaranya adalah wilayah Indonesia terletak di kawasan tropik yang mempunyai iklim stabil, serta secara geografis, wilayah Indonesia dilintasi oleh dua pusat distribusi biota (tipe Oriental dan Australia). Untuk kekayaan satwa, beberapa literatur menegaskan bahwa sekitar 17 persen satwa yang ada di muka bumi terdapat di wilayah Indonesia. Tidak hanya itu saja, menurut IUCN (2011), Indonesia memiliki satwa endemik dengan jumlah yang besar. Melihat kondisi ini, tentunya kita sebagai bangsa Indonesia patut berbangga terhadap prestasi alam bumi Indonesia ini.
            Namun, akhir-akhir ini bisa dikatakan telah terjadi ancaman kepunahan terhadap hampir semua jenis satwa liar di wilayah Indonesia. Menurut data IUCN pada tahun 2011, jumlah satwa yang terancam punah di wilayah Indonesia diantaranya adalah 184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, dan 32 jenis amfibi. Jumlah satwa terancam punah tentu akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Banyak literatur yang menyatakan bahwa penyebab utama penurunan kuantitas dan kualitas kekayaan hayati satwa di Indonesia adalah rusaknya habitat tempat satwa hidup serta adanya peningkatan perdagangan satwa liar. Dua kondisi tersebut sangatlah berkaitan erat. Pola pembangunan dan perekonomian yang kurang berpihak kepada kelestarian lingkungan hidup telah dituding sebagai salah satu penyebabnya. Selain itu, jika dicermati lebih mendalam, kurangnya pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan/satwa juga menjadi penyebab pokok terhadap penurunan kekayaan hayati satwa liar Indonesia. Konflik antara manusia dengan satwa liar di sekitar kawasan konservasi, buruknya pengelolaan beberapa lembaga konservasi satwa, serta eksploitasi terhadap pemanfaatan satwa liar yang meningkat akhir-akhir ini merupakan contoh kecil dari lemahnya pemahaman dan penerapan kesejahteraan hewan di Republik Indonesia.

Kesejahteraan Hewan
            Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Menurut undang-undang tersebut, penyelenggaraan kesejahteraan hewan dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah bersama masyarakat. Di dalam kesejahteraan hewan dikenal lima prinsip freedom, yaitu freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus); freedom from discomfort (bebas dari rasa tidak nyaman); freedom from pain, injury, and disease (bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit); freedom from fear and distress (bebas dari rasa takut dan tertekan); serta freedom to express natural behavior (bebas untuk mengekspresikan tingkah laku alamiahnya). Kesejahteraan hewan dapat dikatakan sebagai “hak asasi” untuk hewan/satwa. Hak tersebut merupakan hak pokok bagi satwa untuk diperlakukan sebagaimana mestinya sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan dan sebagai dasar bagi kelangsungan hidup satwa beserta segala hal yang menyertainya (habitat satwa). Selain itu, khusus untuk satwa liar dilindungi juga sudah tertulis jelas aturannya di Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
            Satwa liar sangatlah rentan terhadap penyimpangan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan. Lemahnya penerapan kesejahteraan hewan yang telah terjadi akhir-akhir ini menjadi pertanda bagi minimnya penghargaan masyarakat kita akan kekayaan hayati negaranya sendiri. Pemahaman dan penerapan kesejahteraan hewan yang baik akan berbanding lurus dengan kelestarian keanekaragaman hayati. Oleh sebab itu diperlukan penyebaran informasi mengenai kesejahteraan hewan di masyarakat luas dan juga diperlukan penegakan hukum terkait penyimpangan kesejahteraan hewan.

Seperti yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, the greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated atau kemajuan moral suatu bangsa dapat dinilai bagaimana bangsa itu memperlakukan satwanya. Maka sudah sepatutnya semua pihak terutama yang mempunyai kaitan dengan kelestarian satwa untuk meningkatkan penerapan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan di dalam pengelolaannya sehingga tercipta kelestarian kekayaan jenis satwa yang merupakan bagian dari keanekaragaman hayati. Apabila keanekaragaman hayati negara kita terus lestari, maka secara tidak langsung akan mengangkat derajat Republik Indonesia di mata dunia. Dan tentunya, kita semua sebagai bangsa Indonesia akan berbangga atas prestasi bumi Indonesia dan bangga bahwa kita telah hidup di negara dengan kekayaan hayati yang luar biasa berlimpah. 

Selasa, 15 Juli 2014

Kelestarian Keanekaragaman Hayati Di Sekitar Kita



Indonesia adalah negeri yang kaya akan keanekaragaman hayati, bermacam-macam dan berjenis-jenis satwa dan tumbuhan hidup di negara kepulauan ini. Begitu kayanya, banyak dari mereka belum sempat terurus. Tingginya nilai keanekaragaman hayati negeri ini adalah suatu anugerah yang diturunkan Tuhan ke negeri yang bernama Indonesia. Karena kita adalah manusia yang beriman, maka segala macam anugerah dari Tuhan sudah seharusnya dan wajib kita syukuri. Mensyukuri keanekaragaman hayati yang begitu besarnya dapat kita lakukan dengan aksi nyata peduli dan ikut melestarikan keanekaragaman hayati. Namun, banyak dari masyarakat yang belum menyadari anugerah tersebut. Sehingga negara berupaya keras melindungi keanekaragaman hayati dengan membagi-baginya ke dalam wilayah yang dilindungi dan tidak. Kawasan yang dilindungi (konservasi) merupakan kawasan yang mempunyai nilai keanekaragaman hayati tinggi, dimana di kawasan ini diberlakukan pembatasan aktivitas manusia.

Sebenarnya, hampir di seluruh wilayah Indonesia mempunyai nilai keanekaragaman yang tinggi, baik itu di dalam kawasan konservasi maupun di luar kawasan konservasi. Namun, saat ini dengan adanya pertambahan penduduk dan pembangunan fisik yang tinggi, keanekaragaman hayati di luar kawasan konservasi mulai berkurang. Misalnya, keanekaragaman burung, dua puluh tahun lalu, mungkin di kota sebesar Jakarta masih dijumpai banyak jenis-jenis burung dengan kelimpahan setiap jenis yang tinggi. Namun, saat ini, di tahun 2014, keanekaragaman burung di kota besar seperti Jakarta sudah mulai berkurang, dan kita hanya bisa menjumpai di daerah-daerah pinggiran atau taman-taman kota, dan itu pun dengan kondisi kelimpahan yang memprihatinkan.

Tidak hanya itu, satwa yang lain juga meraskan kondisi seperti yang dialami satwa burung. Misalnya saja beberapa jenis reptil, amfibi, kupu-kupu dan capung. Beberapa jenis capung yang sangat sensitif terhadap pencemaran lingkungan mungkin sudah tidak bisa dijumpai lagi di kota-kota besar, bahkan mungkin bisa dibilang punah. Sungguh sangat memprihatinkan. Seharusnya, kelestarian keanekaragaman hayati di luar kawasan lindung mendapat prioritas utama dalam pembangunan kota atau daerah, karena kelestariannya akan sangat mendukung kelestarian keanekaragaman hayati di dalam kawasan lindung yang saat ini kita pertahankan mati-matian.

Bisa dibilang, kelestarian keanekaragaman hayati berada di ujung tanduk kepunahan. Laju kepunahan memang tidak bisa dihentikan, tetapi lajunya harus diperlambat dan harus sangat-sangat diperlambat. Di dalam kawasan lindung, adalah peran pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang utamanya adalah pelestarian diiringi dengan penegakan hukum setinggi-tingginya dan pelibatan peran serta masyarakat sekitar. Di luar kawasan lindung, adalah peran pemerintah dan masyarakat yang sadar dan peduli akan pentingnya kelestarian keanekaragaman hayati yang ada di sekitar. Memang, undang-undang dan peraturan pemerintah sudah hampir mengakomodasi untuk perlindungan keanekaragaman hayati negeri ini, tetapi kepedulian sebagian besar masyarakat masih belum menuju ke sana. Di luar kawasan lindung, sering kebijakan yang sudah ada sebelumnya berbenturan dengan kepentingan kelompok tertentu, misalnya saja pemerintah daerah atau kabupaten yang tidak “mematuhi” kebijakan yang ada sebelumnya, bahkan cenderung dibilang mengeksploitasi, atau pembangunan fisik daerah yang jauh dari pembangunan hijau.

Sudah saatnya kita yang sadar ikut menyadarkan pentingnya pelestarian keanekaragaman hayati di dalam dan di luar kawasan lindung (konservasi) kepada masyarakat umum. Mungkin untuk saat ini, kita juga harus dua kali lebih banyak menyuarakan pentingnya kelestarian keanekaragaman hayati di luar kawasan lindung, karena kelestarian di luar kawasan bisa dibilang sangat-sangat mengkhawatirkan. Bagaimana dan dengan cara apa penyadaran itu dilakukan?, mungkin yang sangat mudah adalah mengenalkan jenis-jenis satwa dan flora yang hidup di sekitar tempat tinggal kita, bisa melalui karya visual, audio-visual atau suatu kegiatan. Cara yang berikutnya adalah ikut mengawal dan memantau kebijakan dan pembangunan pemerintah daerah. Selainn itu, cara berikutnya adalah membuat tata aturan mengenai pelestarian suatu jenis satwa atau flora di tingkat kelompok masyarakat yang lebih kecil, misalnya desa, seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat di salah satu desa di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, yang membuat aturan mengenai pelestarian burung serak jawa (Tyto alba). Di desa tersebut, masyarakat sudah sadar dan peduli akan kelestarian burung serak jawa yang berpotensi sebagai predator alami bagi hama tikus di persawahan.

Harapan pasti ada, begitupun dengan kelestarian keanekaragaman hayati negeri ini. Laju kepunahan yang semakin meluncur cepat, harus ditekan dilambatkan. Kunci dari kelestarian adalah kebijakan pemerintah disertai penegakan hukum yang tegas, serta diiringi oleh partisipasi masyarakat yang sadar dan peduli. Kelestarian keanekaragaman bukanlah absurd dan bukanlah tidak memberikan efek apapun, kelestarian keanekaragaman hayati akan memberikan efek yang holistik, meluas ke seluruh bagian-bagian kehidupan. Kelestarian keanekaragaman hayati akan memberikan efek kelestarian dan peningkatan produktivitas lahan-lahan pertanian di suatu wilayah secara langsung maupun tidak langsung.

Salam Lestari !!!


Minggu, 13 Juli 2014

Coretan Pagi Tentang Pohon



Mungkin tidak banyak yang menyadari betapa uniknya sebuah pohon di suatu kota besar yang sangat ramai. Pohon layaknya seorang ibu yang menjadi tempat keluh kesah orang-orang yang capek dan lelah setelah mengadu nasib di kala siang hari, lihatlah banyak dari mereka yang berteduh di bawahnya sambil mengadu tentang nasib-nasibnya. Pohon juga layaknya seorang teroris bagi kehidupan kota besar, karena sewaktu-waktu akan mengancam mewahnya kehidupan orang-orang kota, lihatlah ketika pohon ambruk menimpa sebuah mobil mewah. Pohon juga layaknya seorang rakyat kecil yang siap-siap digusur bahkan dimatikan hak hidupnya kala kebutuhan kota sedang tidak membutuhkan kehadiran pohon, tetapi membutuhkan tembok-tembok beton. Pohon juga layaknya papan reklame gratis, yang setiap saat bisa ditempeli papan-papan iklan.

Untunglah mereka, pohon, tidak atau memang belum dapat berbicara, protes, dan bahkan melakukan gerakan people power kepada manusia kota. Mereka hanya sambat dan prihatin, betapa munafiknya makhluk yang namanya manusia kota. Mereka, manusia kota, menganggap pohon hanyalah “perusak” sebuah rencana pembangunan kota besar, tetapi di sisi lain, mereka sering berbondong-bondong menikmati keteduhan pepohonan di kala bebas aktivitas kantor. Tidak sedikit pohon di kota besar yang “diculik” dan dihilangkan hak hidupnya hanya untuk sebuah pembangunan fisik kota, yang menurut pribadi ini merupakan pembangunan yang absurd.

“Apa salahnya sebuah pohon di kota besar?”, mereka hidup bukan untuk mereka sendiri, melainkan hidup untuk mendukung kehidupan makhluk lain. Jika akar-akar mereka merusak trotoar atau aspal, itu bukan salah mereka, karena mereka membutuhkan sedikit kemauan manusia untuk berbagi dengan mereka. Apa salahnya jika pembangunan trotoar dan aspal tersebut disesuaikan dengan fisik sebuah pohon yang ada di sana. Mereka, pohon, tidak meminta-minta untuk hidup. Mereka contoh makhluk yang kreatif yang ada di bumi ini. Mereka menghasilkan suatu karya besar dari bahan-bahan mentah yang selama ini belum banyak dipikirkan manusia. Bisa dibilang, mereka berprinsip, hidup untuk berkarya.

Lihatlah banyak makhluk-makhluk lemah lainnya yang berlindung di dalam rapuhnya pohon di sebuah kota besar. Katakanlah, misalnya satwa, mungkin ada beberapa satwa yang mulai terancam kepunahannya di dalam sebuah pohon di kota besar. Sungguh manfaat mereka, pohon, adalah sangat besar bagi kehidupan manusia, entah itu di kota atau di desa. Keteduhan dan udara yang bersih, adalah karya dari makhluk yang namanya pohon. Lantas, mengapa banyak dari kita yang tidak menyukai kehidupan sebuah pohon?, apakah kita sudah tidak membutuhkan oksigen lagi untuk bernapas?, dan apakah keteduhan-keteduhan alami sudah tergantikan oleh adanya air conditioner?


Pembangunan fisik sebuah kota besar yang selama ini tidak ramah lingkungan hidup sudah seharusnya diubah. Namun, yang utama harus dilakukan perubahan adalah sikap dari semua masyarakat dalam memandang sebuah pohon. Pohon adalah makhluk yang juga harus kita hargai keberadaannya di tengah-tengah kehidupan kita. Pohon adalah makhluk hidup seperti kita yang mempunyai hak hidup. Apabila banyak masyarakat yang bersikap “baik” kepada pohon, maka tidaklah sulit suatu kebijakan yang pro terhadap lingkungan hidup akan tercipta.

Kamis, 10 Juli 2014

Negeriku Yang Bangkit dan Hebat (Catatan Paling Ngawur)

Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 telah usai, meskipun penetapan pemenangnya oleh Komisi Pemilihan Umum masih menunggu waktu, oleh pendukungnya, si pemenang sudah bisa ditetapkan sore hari di tanggal 9 Juli tersebut. Negara ini benar-benar hebat dan bangkit, inilah saatnya Indonesia bangkit dan hebat, karena kita akan mempunyai dua orang presiden sekaligus. Dibilang NKRI pecah sih tidak ya, tetapi kita akan menjadi satu-satunya negara kesatuan di dunia ini yang punya dua orang presiden. Mereka masing-masing sudah memproklamasikan diri sebagai “presiden”. Kita patut acungi satu jempol atau dua jempol untuk mereka ini. Luar biasa, benar-benar membuat negeri kita menjadi hebat dan bangkit.

Dipersilakan bagi setiap rakyat Indonesia untuk “mengekor” pada salah satu presiden, dan sebaiknya jangan dua-duanya, mentang-mentang mencoblos nomor satu dan dua. Apabila sudah menjadi penganut masing-masing presiden, maka siapapun itu wajib tunduk dan patuh terhadap peraturan yang dibuatnya. Tidak boleh berpindah dari satu presiden ke presiden lainnya karena hal itu akan membuat kita menjadi pribadi yang sangat labil dan mencla-mencle. Serta janganlah menjadi pribadi yang bersifat oportunis meskipun sifat seperti itu sangatlah menyenangkan. Dihimbau juga untuk tidak memisahkan dari NKRI, apalagi tidak menyukai kedua presiden tersebut, karena negara ini masih membutuhkan rakyat seperti ini.

Luar biasa negeriku ini, akan bangkit dan hebat dalam waktu sekejap. Masing-masing presiden akan terhindarkan dari kritik dan caci-maki rakyat Indonesia, karena rakyat yang sudah memilih masing-masing presiden sudah menyerahkan hatinya dan tunduk fanatik kepada masing-masing dari mereka, sehingga presiden pun tidak akan terancam kudeta atau sebagainya itu. Tidak ada aktivis yang koar-koar ingin menjatuhkan presiden karena jika itu dilakukan berarti mereka menampar muka sendiri. Semuanya akan hidup tenteram dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karena saking fanatiknya, maka yang sangat dikhawatirkan adalah suasana di akar rumput. Sedikit gesekan akan bisa menyebabkan pertumpahan darah. Adik-kakak bisa saling cakar-cakaran gara-gara hal sepele, misalnya sang adik mengenakan satu cincin dan sang kakak mengenakan dua cicncin. Suami-istri bisa saling tampar-tamparan gara-gara sang suami tidak sengaja bilang satu dan sang istri bilang dua. Inilah yang membuat kengerian tersendiri di negeri ini. Bisa dibilang, banyak mental-mental masyarakat yang dibiarkan teronggok begitu saja oleh mereka sang pemimpin tertinggi NKRI. Di bidang pembangunan fisik, Indonesia akan sangat maju, bangkit dan hebat, lahan pertanian akan berlimpah, sumber pangan melimpah, meningkatnya badan usaha milik desa, energi akan berlimpah.


Inilah negeriku, luar biasa hebat dan bangkit. Selamat untuk yang terhormat bapak presiden Prabowo Subianto dan bapak wakil presiden Hatta Rajasa, serta yang terhormat bapak presiden Joko Widodo dan bapak wakil presiden Jusuf kalla. Selamat kepada dua pasang presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang terpilih. Luar biasa bangkit dan Hebat !!!

Selasa, 08 Juli 2014

Untuk Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 (Catatan Ngawur)

Hari ini adalah hari dimana seluruh bangsa Indonesia merayakan puncak dari pesta demokrasi. Dua pasang calon presiden dan wakil presiden akan “bertarung” di dalam arena pemilihan untuk keluar sebagai juara. Ya, mereka adalah juara tetapi bukan pemenangnya. Pemenangnya adalah seluruh rakyat Indonesia. Saat ini, rakyat sudah hampir cerdas, mampu memilah dan memilih berdasarkan apa yang mereka inginkan, serta menolak sebuah pemaksaan, walaupun tidak sedikit yang mudah diprovokasi untuk menjadi bodoh. Pemilu adalah sebuah ajang pengharapan untuk kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik di masa mendatang, tentunya lima tahun kedepan. Lima tahun bukanlah waktu yang lama, tetapi kebijakan yang mereka susun akan sangat terasa oleh bangsa ini, entah itu kebijakan yang positif, negatif, atau abu-abu. Jika pemimpin yang terpilih ternayata “menyengsarakan” kehidupan bangsa dan negara, maka setelah lima tahun habis kepemimpinannya, pemimpin seperti itu tidaklah layak untuk dipilih kembali, atau jika pemimpin terpilih bersikap terlalu menyengsarakan kehidupan bangsa dan negara, maka silakan melakukan gerakan people power.
Pemilihan presiden kali ini sangatlah berbeda, sejak pemilihan presiden langsung yang dipilih oleh rakyat pada tahun 2004, pilpres tahun 2014 ini sangatlah unik, menurut saya pribadi. Jika dua periode sebelumnya, pilpres selalu berlangsung dua putaran, maka kali ini pilpres hanya berlangsung satu putaran saja, karena hanya terdapat dua pasang kandidat, dan telah disetujui oleh Mahkamah Konstitusi untuk berlangsung satu putaran. Kondisi ini sangatlah menguntungkan bagi kas negara, sehingga uang negara tidak dihambur-hamburkan begitu saja. Semoga dalam pilpres kali ini kedua kandidat mendapatkan persentase yang sama, dan semoga semua masyarakat sudah menggunakan hak pilihnya, dan hanya tinggal diri pribadi ini yang belum menggunakan hak pilih, sehingga diri pribadi ini bisa melelang suara ini kepada kandidat yang ingin menjadi juara dengan harga yang fantastis.
Harapan di pilpres kali ini adalah semoga hari pemilihan ini dan pasca pemilihan adalah hari-hari yang damai serta tidak terjadi chaos. Untuk pemimpin tertinggi republik ini, semoga anda benar-benar pemimpin yang dibutuhkan republik yang ber-bhinneka ini. Jika anda dekat dengan harapan rakyat, maka kami mendukung sepenuh hati, tetapi Jika anda jauh dari harapan, kami akan siapkan gerakan people power untuk “menempeleng” anda. Selamat memilih untuk rakyat Indonesia dan selamat berpesta demokrasi.



Rabu, 02 Juli 2014

Corat-Coret Konyol Menjelang Pilpres 9 Juli

Gontok-gontokan, saling menyudutkan, dan tak jarang saling berkelahi antara satu dengan lainnya. Itulah yang tengah terjadi di negeri ini menjelang pesta demokrasi tanggal 9 Juli nanti. Mereka yang mengaku pendukung masing-masing capres-cawapres berlaku seperti itu, mereka tak jauh berbeda dengan anak kecil. Seolah-olah capres-cawapres yang mereka dukung adalah manusia pemimpin sempurna di negeri ini. Bisa dibilang bahwa mereka terlalu fanatik, bahkan ekstrem dalam hal dukung mendukung ini. Hanya satu yang dikhawatirkan dalam kondisi ini, yaitu tidak adanya kata “legowo” dan “”ikhlas” dalam menerima kekalahan capres-cawapres yang didukungnya kelak. “Anarkis”, itulah satu kata yang paling dikhawatirkan setelah tanggal 9 Juli kelak, menjadi chaos dan akhirnya Indonesia pecah di tahun 2015 seperti yang diprediksi oleh Direktur Utama Komite Perdamaian Dunia (The World Peace Committe), Djuyoto Suntani.

Indonesia pecah lantaran tidak ada figur seperti Soekarno di masa silam yang mampu meredam keinginan masing-masing kelompok. Saat ini sudah semakin terlihat, setiap dan masing-masing kelompok merasa mempunyai keinginan yang ingin mereka munculkan di negeri ini, dan mereka tidak mau mengalah atau bertoleransi terhadap kelompok lain. Mungkin bisa dibilang, negeri ini menjadi rebutan antar kelompok. Apa yang membuat negeri ini ibarat kue bolu?, tentu jawaban yang umum adalah sumber daya alamnya. Untuk mendapatkan itu semua tentunya dengan satu kata, yakni “kekuasaan”.

Saya pribadi masih meyakini sampai detik ini bahwa di belakang setiap calon pemimpin tertinggi pasti ada kelompok-kelompok yang ingin eksis nantinya ketika calon pemimpin menjadi pemimpin tertinggi negeri ini dan mereka akan mendapatkan jatah kekuasaan dalam skala yang lebih kecil. Atau bahkan mereka mampu “meracuni” pemimpin tertinggi sehingga mereka mendapatkan jatah dalam skala besar.

Perihal pemilihan capres-cawapres saat ini, sudah terlihat bagaimana kelakuan kelompok-kelompok pendukungnya, ada yang bilang kampanye hitam lah ada yang bilang menyesatkan lah. Mayoritas dari mereka merasa dizolimi ketika capres-cawapres yang mereka dukung ditelanjangi di muka umum. Ada yang beranggapan bahwa memilih salah satu pasangan capres-cawapres adalah haram hukumnya. Ada yang mengaitkan dengan fasisme, komunisme, dan lain sebagainya. Buruknya adalah tataran akar rumput juga ikut terjebak dalam kondisi seperti ini, bahkan bentrokan antar mereka juga kerap terjadi. Menurut saya, ini adalah kondisi yang sangat menjijikkan di negeri ini. Pertanyaan yang ada di benak adalah kenapa masyarakat tidak dibuat pandai politik oleh mereka yang menguasai perihal politik?

Ada yang bilang, jika kita ingin melihat kelihaian seorang calon pemimpin maka berikanlah kesempatan memimpin. Kedua pasang capres-cawapres adalah manusia Indonesia ideal saat ini untuk menjadi pemimpin tertinggi. Sebuah gagasan konyol tiba-tiba muncul dari pikiran yang sadar, bagaimana jika republik ini dibagi saja (bukan dipecah) menjadi dua bagian, satu bagian dipimpin oleh capres-cawapres nomor urut satu, dan satu bagian lagi dipimpin oleh capres-cawapres nomor uurut dua. Dengan begitu maka gontok-gontokan dan perang urat syaraf dapat terhindarkan. Selama memimpin, rakyat masing-masing presiden-wakil presiden akan dengan jelas mengetahui kelihaian kepemimpinan pemimpin yang mereka dukung. Jika tidak sesuai harapan mereka boleh saling berpindah. Dan akhirnya rakyat bisa membandingkannya. Sebuah gagasan konyol untuk menyongsong Indonesia yang semakin abu-abu.

Harapan pasti tetap ada, semoga pemimpin tertinggi yang terpilih pada tanggal 9 Juli nanti adalah pemimpin yang dapat menjadi figur pemersatu bangsa, jujur, amanah, tegas, mampu menjaga ke-bhinneka-an dan kearifan lokal, mampu menjaga kelestarian keanekaragaman hayati, mampu mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia, serta kebal dari “racun” kelompok-kelompok di belakangnya dan “racun” dari koalisinya.


Selamat berpesta demokrasi untuk bangsa Indonesia, semoga Indonesia tidak pecah menjadi 17 negara bagian di tahun 2015. Tulisan ini hanyalah sekedar corat-coret dan mohon untuk tidak ditanggapi serius.

Senin, 30 Juni 2014

Tolak Eksploitasi Karst Rembang

Sebuah poster penolakan terhadap pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (30/6/2014), Foto oleh Adhi Mahendratomo
Eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan dan keuntungan jangka pendek kerap terjadi di hampir seluruh kawasan Republik Indonesia. Dengan dalih peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, eksploitasi tersebut dengan mudah berdiri dengan restu dari pemerintah. Biasanya untuk menarik simpati masyarakat sekitar, industri-industri tersebut dijalankan dengan embel-embel industri "hijau" atau industri yang berwawasan lingkungan hidup. Seperti yang akhir-akhir ini terjadi di kecamatan Gunem, kabupaten Rembang, Jawa Tengah, yakni pembangunan pabrik semen oleh salah satu perusahaan semen pelat merah ternama.

Memang, pembangunan industri semen di kabupaten Rembang merupakan investasi besar di kabupaten miskin ini, apalagi dimungkinkan adanya investasi besar lainnya yang akan dibangun di Rembang di kemudian hari. Tentu hal ini akan sangat meningkatkan perekonomian kabupaten Rembang dan propinsi Jawa Tengah. Namun, apakah investasi besar tersebut bisa selaras dengan kelestarian lingkungan hidup kawasan sekitarnya, mengingat kawasan sekitar merupakan kawasan karst.

Kawasan karst merupakan kawasan yang mempunyai nilai keanekaragaman hayati tinggi. Karst juga sebagai tempat penyimpan sumber air. Apabila karst dieksploitasi sedemikian rupa, maka hilang juga unsur-unsur yang mendukung keanekaragaman hayati kawasan tersebut.

Jika ditilik, karst terbentuk bukan dalam waktu sekejap, tetapi dalam waktu yang sangat lama. Jadi sungguh tidak adil jika karst yang sangat bernilai tersebut dirusak atas nama peningkatan ekonomi yang akan bertahan dalam jangka pendek saja.  Apalagi penggunaan kawasan karst untuk penambangan karst sebagai bahan baku pabrik semen melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) propinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung imbuhan air dan Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.

Mengapa pemerintah tidak sepenuh hati melindungi kawasan karst. Apabila karst ditambang maka kabupaten Rembang akan menjadi kabupaten tertandus di Jawa Tengah. Jika pemerintah ingin meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Rembang dan Jawa Tengah, mengapa tidak mengoptimalkan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan.  Perlindungan bentang karst akan memberikan efek keuntungan jangka panjang terhadap kesejahteraan masyarakat.


Salam lestari !!!