Sabtu, 19 November 2011

Menyikapi Konflik Antara Manusia dengan Satwa Liar

Daftar panjang konflik antara manusia dengan satwa liar di negeri ini nampaknya telah menjadikan keprihatinan tersendiri bagi segenap bangsa Indonesia. Akar konflik yang diduga penyebabnya berasal dari permasalahan ekonomi telah membuat konflik tersebut berlarut-larut bahkan pihak pemerintah pun terkesan setengah-setengah dalam menyikapinya. Meskipun tidak semua akar konflik disebut berasal dari permasalahan ekonomi, tetapi nampaknya tetap akan berujung pada titik "ekonomi", dimana kejadian ini lebih banyak dilakukan oleh masyarakat lokal atau masyarakat sekitar kawasan konservasi.

"Satwa liar adalah hama", begitulah pernyataan yang sering terlontar oleh masyarakat-masyarakat sekitar kawasan konservasi yang mempunyai kepentingan terhadap kawasan tersebut. Tidak saja masyarakat lokal yang menganggapnya sebagai hama, industri-industri pengguna kawasan hutan pun menganggapnya sebagai hama yang sangat mengganggu. Jika masyarakat lokal berkonflik dengan cara-cara lokal, maka industri-industri tersebut berkonflik secara membabi buta, dan keduanya termasuk perbuatan yang sadis, sebuah perbuatan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Perubahan gaya hidup masyarakat menjadi konsumtif akan melahirkan pergeseran kearifan lokal masyarakat sekitar kawasan konservasi kemungkinan dapat menjadi penyebab utama perilaku-perilaku sadis terhadap satwa liar. Namun, nampaknya tidak sesederhana ini penyebabnya. Selain itu, kebijakan-kebijakan pemerintah yang "salah arah" mungkin menduduki peringkat pertama penyebab konflik antara masyarakat dengan satwa liar. Industri-industri pengguna hutan, seperti perkebunan sawit, HPH, ataupun pertambangan yang begitu mudah perizinannya merupakan kesalahan dari kebijakan pemerintah. Mereka begitu mudahnya melakukan usaha di dalam kawasan yang seharusnya wajib menjadi kawasan konservasi. Sampai tulisan ini dibuat, masalah pembantaian terhadap orangutan kalimantan oleh sebuah perusahaan sawit di Kalimantan Timur masih belum jelas arahnya.

Industri sawit dan perkebunan lainnya di dalam kawasan konservasi nampaknya secara langsung dan atau tidak langsung telah mempengaruhi pola hidup masyarakat lokal, dan juga mengubah kehidupan biodiversitas wilayah tersebut. Sehingga keberadaan satwa liar dengan mudahnya dianggap dan diperlakukan sebagai "hama" yang mengganggu profit industri/perusahaan tersebut maupun mengganggu kelancaran rejeki masyarakat lokal. Apabila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, maka tinggal menunggu waktu, terganggunya kesehatan ekosistem, dan akhirnya bencana yang lebih besar akan terjadi.

Industri/perusahaan perkebunan maupun pertambangan di dalam kawasan hutan nampaknya berteriak "gembira" kala konflik tersebut menjadi besar. Umumnya industri/perusahaan tersebut menyebabkan habitat satwa liar terfragmentasi, dan inilah yang sebenarnya membuat satwa liar merasa tidak nyaman, lantaran pergerakan dan sumber pakan yang terbatas. Keadaan inilah yang menyebabkan satwa lebih memilih untuk keluar habitatnya yang semakin kecil.

Mengurai masalah konflik antara manusia dengan satwa liar nampaknya bukan semudah membalikkan telapak tangan. Peraturan tentang kehutanan sudah ada dan penegak hukum pun sudah ada, tetapi masalah tersebut masih sangat susah untuk diuraikan. Nampaknya jika ditelisik lebih jauh, kemauan pemerintah yang masih setengah hati untuk menyelamatkan biodiversitas negeri ini. Pemerintah lebih mengutamakan dan mengejar kemakmuran dalam bidang ekonomi, dan mengabaikan kelestarian keanekaragaman hayati. Inilah masalahnya, keanekaragaman hayati masih merupakan masalah remeh-temeh bagi tingkat elite pemerintah. Satu hal yang harus dilakukan, kemauan keras, penyadaran masyarakat akan betapa pentingnya kelestarian biodiversitas, penerapan AMDAL, dan penegakan hukum yang sebenar-benarnya akan membantu terurainya masalah konflik tersebut.

19/11/11

Kamis, 17 November 2011

Biodiversitas di Negeri Ini (sebuah opini pagi singkat)

Apakah Indonesia gagal melindungi titipan keanekaragaman hayati yang berlimpah?

Sebuah pertanyaan yang sering terbersit di benak akhir-akhir ini. Kerusakan, ketidakpedulian, dan eksploitasi berlebihan terhadap keanekaragaman hayati nampaknya sedang menjadi "trend" saat ini. Lantas siapa pelakunya?, susah untuk menjawabnya karena bukti-bukti di lapangan dengan mudah lenyap seketika, sehingga seakan-akan tidak ada yang patut dipersalahkan, dan biasanya kesalahan akan ditimpakan pada alam, seperti bencana alam.

Sebuah ironi dari negeri yang mewarisi harta berharga bumi ini. Belum dan nampaknya tidak terlihat kejelasan nasib biodiversitas di negeri ini. Pemerintah belum sepenuh hati mengakui hak "alam", dan masyarakat dengan alasan himpitan ekonomi menjadikan konsumen terdepan akan hak "alam". Benar-benar miris.

Derajat kemakmuran negeri yang didasarkan pada kehartaan telah menjadikan segala hal tentang keanekaragaman hayati patut untuk dihitung secara angka-angka. Akhirnya semua keanekaragaman hayati harus diubah secepatnya menjadi lembaran-lembaran berangka agar kemakmuran negeri ini bertambah banyak. Lantas jika sudah begini, maka masyarakat lokal pun juga akan ikut menggadaikan tradisi pelestarian yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Mereka sudah merasa terdesak kepentingan materi yang notabene secara tidak langsung diajarkan oleh pemerintah.

Kerusakan biodiversitas yang akhirnya akan menyebabkan suatu krisis. Krisis tersebut akan berdampak pada kehidupan manusia secara luas. Bencana alam dan kepunahan jenis yang akan mengganggu ekosistem bumi ini. Inilah negeri pecahan surga, kata orang-orang dahulu, dua dari dua puluh lima biodiversity hotspot ada di negeri ini. Jadi pelestarian sebenar-benarnya diperlukan untuk sebuah ekosistem bumi yang sehat. Memang dalam peningkatan kemakmuran masyarakat, pembangunan fisik dan ekonomi tidak boleh diabaikan, tetapi negeri ini besar karena alamnya, budaya lokalnya, dan tradisinya, jadi alangkah bijak apabila pemerintah melakukan pembangunan fisik dan ekonomi yang selaras dengan kelestarian biodiversitas, serta kearifan budaya dan tradisi lokal.

18/11/11

Rabu, 16 November 2011

Animal Welfare dan Kelestarian Biodiversitas Dalam Bayang-Bayang Tayangan Televisi

Manusia tampaknya bisa dan mudah melakukan apa saja tanpa mengindahkan "rasa" makhluk-makhluk lain di sekitarnya. Begitulah kira-kira pemikiran yang dipetik ketika menyaksikan program acara di salah satu televisi swasta nasional. Program acara yang ditempatkan pada jam istirahat siang nampaknya akan menyedot beragam segmen penontonnya, mulai dari orang dewasa hingga anak-anak. Apalagi ditambah oleh rasa keingintahuan masyarakat dengan judul yang mungkin asing di telinga mereka.

Tayangan tersebut terlalu mengumbar keperkasaan manusia akan alam sekitar. Di satu sisi, tayangan tersebut terlihat "hebat" dan di sisi lain tayangan tersebut melanggar prinsip-prinsip animal welfare. Namun, nampaknya pembuat acara tersebut tidak terlalu mengambil pusing apa itu animal welfare dan juga apa itu kelestarian, si pembuat hanya memenuhi aspek hibur-menghibur, layaknya sebuah sirkus. Memang di jaman sekarang kalau tidak keuntungan materi, apa lagi yang akan dicari. Keadaan inilah yang menyebabkan terabaikannya prinsip animal welfare dan juga semangat konservasi satwa liar.

Entah apa tujuan tayangan tersebut, apakah hanya aspek hiburan ataukah yang lainnya, nampaknya tayangan tersebut berhasil menggiring opini masyarakat akan animal welfare, konservasi, dan kelestarian keanekaragaman hayati, tentunya penggiringan opini ke arah kiri. Aksi kekerasan terhadap satwa liar yang dikemas secara apik dalam wadah hiburan nampaknya secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran-pemikiran masyarakat bahwa apa-apa yang dilakukan dalam acara tersebut adalah lazim, wajar, dan menghibur. Lantas apa yang akan terjadi selanjutnya?,

Kekhawatiran dari dampak acara tersebut adalah semakin tidak pedulinya masyarakat negeri ini akan kelestarian keanekaragaman hayati lantaran masyarakat menganggap biodiversitas patut dieksploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan hibur-menghibur dan kesenangan sesaat. Jika kondisi ini benar-benar terjadi maka negeri yang terkenal sebagai megabiodiversity country akan dengan mudah menjadi negeri yang gersang kerontang tanpa keanekaragaman hayati. Inilah kondisi yang ditakutkan.

Tidak hanya itu, dampak lainnya adalah kekerasan yang dilazimkan terhadap sesama, karena secara tidak langsung, tayangan tersebut mempertontonkan bagaimana satwa harus dieksploitasi dimana jika pengaruh sebagai eksploitator tertanam dalam kalbu maka dengan mudahnya aksi eksploitasi kekerasan diterapkan terhadap sesama. Apalagi tayangan tersebut diputar di waktu ketika banyak anak-anak yang menontonnya. Apa yang akan terjadi?, tinggal menunggu waktu saja.

Pemerintah melalui komisi penyiaran harusnya ikut menyeleksi dan mendampingi tayangan-tayangan yang bermanfaat dan berbobot bagi kelestarian keanekaragaman hayati negeri ini, sehingga dampak kerusakan biodiversitas dan juga dampak kekerasan bisa teredam. Entah, apakah dalam dunia media terdapat etika tentang kekerasan terhadap makhluk non-manusia apa tidak. Pemerintah seharusnya mengetahui bahwa dua dari dua puluh lima titik panas biodiversitas dunia terdapat di Indonesia. Dari pelaksanaan prinsip animal welfare secara sederhana saja sebenarnya bisa mengangkat derajat bangsa Indonesia di kancah internasional. Seperti yang diungkapkan Mahatma Gandhi, "the greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animal are treated". Inilah yang harus diingat oleh segenap komponen bangsa dan negara.

17/11/11

Kamis, 10 November 2011

Antara Indonesia, ASEAN, Komunitas ASEAN, dan Masyarakat

Tahun 2011 menjadi tahun yang amat penting bagi Indonesia di dalam lingkup kawasan Asia Tenggara. Sejak awal tahun ini, secara bergilir, Indonesia menjadi ketua ASEAN atau lebih tepatnya Indonesia menjadi pemimpin perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara tersebut. Tema yang diusung oleh pemerintah pun bukan main-main, tema "ASEAN community in a global community of nations". Sebuah tema yang besar dan berarti untuk kemajuan bangsa-bangsa Asia Tenggara, sebuah komunitas bangsa-bangsa Asia Tenggara. Logonya pun rupanya menyimpan beragam makna, entahlah, sebuah gunungan wayang. Apabila ditilik dalam sebuah pertunjukan wayang, gunungan mempunyai beranekaragam makna, baik makna yang tersurat maupun tersirat. Terlepas dari hal tersebut, salah satu makna dari gunungan tersebut adalah yang mengawali dan mengakhiri, serta gunungan menggambarkan bervariasinya sifat-sifat kehidupan manusia. Dari logo yang diusung pemerintah Indonesia tersebut, semoga saja Indonesia
menjadi negara yang sangat berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, mengawali dan mengakhiri, namun tahun ini bukanlah akhir dari ASEAN. Tak hanya itu, Indonesia adalah gambaran masyarakat budaya Asia Tenggara.
Kepemimpinan Indonesia untuk ASEAN diharapkan dapat meningkatkan kemajuan masyarakat rakyat bangsa-bangsa ASEAN. Kemajuan harus dirasakan dalam tingkatan masyarakat, bukan tingkatan elite. Saat ini, sampai detik tulisan ini dibuat, nampaknya Indonesia terlihat berhasil dalam penyelenggaraan pertemuan-pertemuan elite ASEAN yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Kesuksesan tersebut memang membawa dampak yang besar bagi negara Indonesia, tetapi rasanya hanya masih dalam tataran membangun image.
Apalagi di bulan November ini, Indonesia dipercaya menjadi penyelenggara SEA Games ke-26, tepatnya di Jakarta dan Palembang. Nampaknya lengkap sudah arti sebuah kepemimpinan dimana semua aktivitas di kawasan Asia Tenggara terpusat di Indonesia. Terlepas dari hal tersebut, apakah pemerintah hanya ingin membangun citra ataukah membangun masyarakat ASEAN dengan hati, belum bisa terjawab. Nama ASEAN juga nampaknya belum begitu familiar di telinga masyarakat yang menjadi masyarakat negara pemimpin ASEAN, sehingga kepemimpinan tersebut rasa-rasanya belum menyentuh "hati" masyarakat rakyat. Jika dirunut, Indonesia dalam momen ini harus berani mengangkat isu komunitas ASEAN tahun 2015. Komunitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai masyarakat, maka tak bisa disepelekan peran masyarakat dalam terbentuknya Komunitas ASEAN 2015 nanti. Sudah sepatutnya pemerintah selaku pemegang legal kepemimpinan ASEAN mengedepankan peran serta masyarakat-rakyat
Indonesia dan Asia Tenggara, sehingga tercipta interaksi yang lebih solid untuk mewujudkan ASEAN Community.
Rasa-rasanya komunitas ASEAN harus dipupuk dari dasar unity in diversity. ASEAN mempunyai keanekaragaman kehidupan sosial-budaya-lingkungan yang tidak dipunyai oleh kawasan lain di belahan bumi manapun. Inilah yang harus digali oleh Indonesia sebagai pemimpin yang tinggal kurang dari dua bulan, lantaran Indonesia adalah cerminan masyarakat Asia Tenggara, dan Indonesia sudah sejak lama mempunyai pengalaman menyatukan keanekaragaman.

Rabu, 09 November 2011

Jas Merah, Secuil Opini

Selama masih ada kehidupan, manusia tak akan pernah terlepas dari sejarah, karena "waktu lalu, kemarin, dan waktu sebelum detik ini" adalah sejarah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau, ataupun pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau. Definisi tersebut mungkin dapat dipahami jika sejarah adalah fakta. Fakta masa lalu, lantas mengapa sejarah seringkali didebat?, adakah yang salah dengan sebuah fakta atau apakah sejarah itu hanyalah kebohongan orang perorang yang ingin dianggap superior?, apabila begitu maka bukankah sejarah adalah non-fakta?, entahlah. Nampaknya benar menurut orang, sejarah adalah milik penguasa. Siapa yang salah dan siapa yang benar bisa saling berganti. Namun, itulah kehidupan, tidak ada yang tahu persis kehidupan tokoh-tokoh di masa lampau, kecuali pelakunya dan Sang Pencipta. Sejarah telah menjadi
kisah heroisme yang menghibur, utamanya bagi yang terhibur.

Peristiwa masa lampau memang tak bisa terpisah dari apa yang namanya pertentangan antara protagonis dan antagonis. Semangat heroisme protagonis telah disetting sedemikian rupa sehingga timbul pembenaran terhadap "perang" yang telah terjadi. "Perang" lebih ditonjolkan daripada semangat kemanusiaan itu sendiri. "Perang" dalam sejarah seringkali dihiasi dengan bumbu-bumbu pengkhianatan dan pemerasan, dimana dampak yang luas adalah kesengsaraan, kesedihan, dan keterpinggiran. Entah dampak dari sejarah yang notabene lebih banyak disorot sebagai "pertentangan" atau "perang" sebagai suatu karma dari hidup dan kehidupan manusia atau kebetulan belaka, belum ada yang tahu persis. Nampaknya apa yang diujarkan oleh Soe Hok Gie ada benarnya, "sejarah dunia adalah sejarah pemerasan, apakah tanpa pemerasan sejarah tidak pernah ada?, apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?". Itulah hidup dan kehidupan, manusia berpikir, bertindak, dan
bertahan hidup. Bertindak adalah buah dari berpikir, dan bertahan hidup terjadi lantaran berbagai kepentingan eksternal merongrong eksistensinya sebagai manusia.

Sejarah memang tak pernah terlepas dari hal yang telah disebutkan di atas, entah negatif dan atau positif, karena hal-hal itulah yang biasanya lebih "menghibur" dan "menarik". Kemanusiaan, lingkungan, dan sosial-budaya-religi rupa-rupanya hanyalah dalih yang dilontarkan untuk menghiasi sejarah yang negatif. Nampaknya, dasar dari adanya itu semua adalah "kepentingan" yang berujung untuk memperoleh kekuasaan, yang akhirnya adalah sebuah materi atau lebih tepatnya harta atau kekayaan atau lebih sederhananya bisa disebut sebagai uang. Kekuasaan materi, bisa disebut begitu, telah melumpuhkan sendi-sendi kehidupan vital lainnya, masa lampau dan atau masa sebelum detik ini. Apabila apa yang telah terjadi di masa lampau adalah begitu adanya, maka apa yang diungkapkan Voltaire ada benarnya, "apabila kita bicara uang, maka semua orang sama agamanya". Ataukah apa yang diujarkan oleh Soekarno ada benarnya, "dalam sebuah revolusi, bapak makan anak itu hal yang
lumrah".

Rasa-rasanya sejarah harus diberi makna secara holistik, lebih mendalam, bukan hanya superficial saja. Tentunya bukan hanya penghakiman sesaat siapa salah dan siapa benar. Menengok ke belakang untuk menapak ke depan, maka seharusnyalah kita menerapkan apa yang diungkapkan Soekarno, "Jasmerah", jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebuah pemaknaan yang akan menghantarkan kehidupan ke arah yang lebih beradab, manusiawi, tingginya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, alam, lingkungan, sosial-budaya-agama.

Minggu, 30 Oktober 2011

Belum Bersua Lagi

Cepat dan semrawut, begitulah kesan terhadap "perkembangan" kehidupan makhluk berakal dan berimaji di negeri ini. Ah, inilah hidup dan kehidupan, sebuah dinamika yang terseret modernisasi industrialisasi materialistik globalisme sesat, itulah yang dianggap lebih beradab. Entah "adab" dimaknai sebagai sebuah budi pekerti dan kesopanan, ataukah yang lain, entahlah. Sedangkan apa-apa yang berbau naturalistik dianggap sebagai kurang "beradab", sebuah fenomena yang sedang menjangkiti mental masyarakat negeri indah ini. Naturalistik kurang menguntungkan secara ekonomi dan dianggap sebagai penghambat modernisasi materialisme.

Negeri jembatan yang seharusnya dibangun dengan pondasi naturalis diubah menjadi negeri yang berdasar materialis, akhirnya uang dan harta yang berbicara daripada kehalusan dan keramahtamahan budi pekerti serta kearifan lokal. Fenomena yang sudah menjadi santapan tiap hari, bahkan baru beberapa masa, apa-apa yang hijau telah menjelma menjadi ikon modern materialis, tak ada lagi keriuhan gesekan dedaunan hijau muda, semuanya dan hampir semuanya berganti menjadi keramaian suara sepatu-sepatu mewah yang beradu dengan marmer.

Ah, inilah hidup. Kala ini, ingatan itu tiba-tiba menyeruak menjejali isi tempurung kepala yang tak bervolume besar. Sebuah ingatan akan keriuhan pycnonotus, dicaeum, orthotomus, psittacula, dkk, ataupun spilornis. Mereka selalu hinggap dan bercericit dalam ingatan setiap akhir pekan, mendobrak imaji akhir pekan untuk berbuat lebih. Lama tak berjumpa, apakah mereka masih dipelihara untaian tanah negeri ini, semoga saja mereka masih hinggap dan berceloteh riang diantara dahan-dahan di suatu tempat sana. Lama tak bersua, semoga kedua mata ini berjumpa dengan keindahan dan kesahajaan kalian. Sebuah keinginan sungguh telah jejal-menjejal memenuhi ruangan kosong dalam tempurung kepala, keinginan untuk bersua kembali sebelum mata terpejam dalam tidur siang, tidur malam, ataupun tidur pulas selamanya.

Ceruk Langit

Untuk selapis langit,
Patuh menapaki jenjang hiruk kisah
Mencerca celah celah terang, lantaran pijar liarnya menerkam buas sisa sisa jaman

Ah, itu langit telah bertambah lapis
Ini langit bertambah lagi lapisnya
Bukanlah sebuah eksponen
Ini lapis tak bisa dijumlahkan

Kala kelam menyelinap diantara lapisnya
Setitik sinarnya menjejali lima indera
Berulang lagi, samar samar nampak sebuah ceruk
Ceruk legam yang hanya membayang tanpa bisa tertangkap oleh panca indera
Tidak begitu lapang, entah dangkal atau dalam
Hanya dua sosok pinggir ceruk yang paham
Diam dan diam
Terlihat menunggu yang ditunggu

Ah, itu ceruk, ceruk dari langit
Membayangi letihnya imaji imaji liar
Ceruk langit yang menusuk kalbu tiap tiap bertambahnya lapis langit
Ini waktu biarlah jiwa bertamu ke dalam ceruk lukisan langit
Berbicang dengan setiap sisinya
Ah, ceruk dari langit

Bintaro, 20/10/11

Balada Psittacula alexandri alexandri di Kampus Hijau

"Masbro, sudah hampir siang ini."

"Memangnya ada apa dengan siang, ada yang anehkah dengan yang namanya siang?"

"Ah masbro, begini masbro, jika siang kan jadi panas di sini, ndak nyaman lagi masbro, lagian belum ada sesuatupun yang masuk ke perut."

"O gitu tho, nanti dulu Jo, kita tunggu mereka beranjak dari bawah sana."

"Ah, kelamaan, si Bo, Dul, Plut, dan Cuk sudah dari tadi meninggalkan tempat ini, ayolah masbro."

Sebuah percakapan antara dua ekor Psittacula alexandri alexandri di sebuah petak hutan sengon sebuah lingkungan perguruan tinggi yang berjuluk kampus hijau. Semenjak maraknya pembangunan gedung-gedung kuliah baru yang terkesan tidak ramah lingkungan telah menjadikan larinya keriuhan cericit-cericit makhluk-makhluk bersayap kala pagi menjelang. Nampaknya sebagian besar penghuninya sudah menghilang. Sebenarnya belum ada yang tahu, hilang karena ngungsi atau hilang karena ditelan bumi alias menghadap Sang Pencipta.

"Jo, merasa ada yang aneh ndak akhir-akhir ini?", tanya masbro setengah berbisik.

"Akhir-akhir ini, bagaimana tho maksudnya masbro?, ndak mudeng saya ini."

"Itu lho Jo, sejak penghidupan kita dibabat habis-habisan."

"Oh, itu tho maksudnya, ya jelas masbro, berubah tiga ratus derajat celcius, eh ndak pakai celcius ding."

"Di sini, di hutan ini pun tinggal kita saja Jo."

"Ah, masbro berlebihan, masih ada yang lain juga masbro."

"Bukannya melebih-lebihkan, kenyataannya benar kan Jo, coba dimana sekarang bapakmu, dimana sekarang makmu, dimana adikmu?", terlontar pernyataan retoris dari paruh Masbro.

"Benar juga masbro, saya jadi sedih kalau mengingatnya."

"Saya bingung Jo", ujar Masbro sembari air matanya merembes dari kelopak matanya.

"Tenang masbro, bila bingung pegangan saya saja ya", Bejo menimpali mencoba menghibur kawan karibnya.

Sudah hampir tiga jam dua ekor Psittacula alexandri alexandri belum beranjak dari strata tengah pohon sengon tua. Nampaknya kejadian ini membuat dua sosok manusia yang sejak pagi buta berada di bawah sengon tersebut merasa terheran-heran. Mereka terlihat tak henti-hentinya berusaha menangkap rahasia di balik anehnya kejadian pagi menjelang siang itu.

"Masbro, mereka kok aneh ya?", tanya Bejo sembari menunjuk-nunjuk ke arah dua sosok manusia di bawah sana.

"Aneh bagaimana tho, kamu itu yang aneh, lha wong tiap minggu ketemu mereka kok bilang aneh", jawab Masbro dengan nada sedikit sewot.

"Santai masbro, maksud saya begini lho, kok mereka betah berlama-lama nungguin kita berdua, atau jangan-jangan...."

"Jangan-jangan apa Jo?"

"Ah, ndak kok masbro."

"Kamu ini lho kebiasaan, kalau ngomong mesti kok ndak pernah dilanjutin, bikin penasaran saja Jo."

"Kapan kita perginya dari sini masbro, cuaca sudah semakin terik, dan perut sudah mulai berkicau nih."

"Pokoknya saya mau menunggu mereka dahulu, jika mereka pergi, saya pun akan beranjak, kalau kamu mau pergi, silakan pergi duluan saja Jo."

"Ah, masbro juga ikut-ikutan aneh, kalau begitu sayapun mau ikut-ikutan aneh alias mengikuti masbro."

"Dasar kamu Jo."

Cuaca sudah semakin terik, dua sosok manusia yang dari tadi menatap keanehan dua makhluk di pohon sengon tiba-tiba terlihat mengemasi barang-barangnya.

"Plek sudah semakin siang, sudah cukuplah kita di sini, nanti sore dilanjut lagi."

"Oke Thel, mengko sore yo, jam piro enaknya?"

"Biasalah, habis ashar, kalau ndak hujan."

"Siap pakboss, eh ngomong-ngomong itu si Psittacula alexandri alexandri betah banget nangkring di sengon hampir tiga jam", tanya Gaplek sambil memindahkan sisa-sisa puntung rokoknya dari kantong plastik ke kantong sakunya.

"Lha mbuh yo, mungkin dia stress akibat perubahan habitat, atau mungkin juga punya kelainan perilaku", jawab Gathel sambil menikmati batang rokoknya terakhir.

"Mesakke yo, populasinya juga menurun drastis, menurutmu sebagian besar mereka pindahe kemana ya?"

"Yo jelas kasihan, kalau dipikir seandainya kampungmu digusur apa yang akan terjadi?, kalau pindah masih belum jelas Plek, kalaupun pindah, mau pindah kemana lagi, dimana-mana pohon sudah berubah menjadi tembok."

"O iyo Thel, kemarin ada yang ngomong kalau ada yang menemukan juvenilnya mati di lokasi penebangan sengon-sengon."

"Wah dimana itu?, jumlahe sing mati piro?"

"Yo ndak ngerti Thel, tapi kemungkinan di sini", jawab Gaplek sambil menunjuk bangkai-bangkai pohon sengon yang tak jauh dari tongkrongan mereka.

"Miris juga ya, sing penting nanti bikin tulisan tentang kondisi ini."

"Sipp pakbos, eh, ngomong-ngomong binokulerku sudah kamu masukin tas?"

"Iki wes tak masukke tas."

Tak sampai lima menit, kedua sosok manusia itu pun sudah menghilang meninggalkan sepetak hutan sengon yang sunyi.

"Dengar sendiri kan Jo, mereka itu ikut prihatin atas kondisi yang menimpa kita.", ujar Masbro setengah berbisik.

"Iya masbro, mudah-mudahan sore nanti kita bisa bertemu dengan mereka lagi."

"Apabila ndak hujan ya."

"Sekarang saatnya kita pergi dari pohon tua ini", ujar Bejo sambil meregangkan sayapnya satu persatu.

Kesunyian yang selama pagi ini menyelimuti petak hutan sengon itu tiba-tiba berubah menjadi riuh oleh beberapa sosok manusia. Mereka terlihat berbeda dari sosok manusia yang baru saja beranjak dari tempat itu. Dari beberapa bertambah lagi menjadi beberapa, diantara mereka ada yang terlihat lusuh dan ada juga yang tampak rapi parlente.

"Bentar Jo, mereka datang lagi", ucap Masbro.

"Ayo Masbro, jangan sampai kita menangis seperti kemarin lagi."

Masbro terdiam ketika suara bising bercampur parau terdengar.

"Masbro ayo kita pergi, nyali saya teramat kecil melihat ini", teriak Bejo yang seolah tenggelam dalam bunyi bising itu.

Kombinasi suara bising, parau, dan gemuruh pohon tumbang telah menghiasi irama siang yang belum terik itu. Satu tumbang, disusul yang lain, tak lebih dari sepuluh menit. Nampaknya sebuah ciri pekerja yang profesional. Bau bangkai pohon tumbang, semak-semak, dan bau keringat sosok-sosok manusia pekerja telah ikut meramaikan sayatan-sayatan di hati dua ekor Psittacula alexandri alexandri dan makhluk-makhluk hutan lainnya.

"Masbro, ayo lekas pergi", bujuk Bejo sambil menggoyang-goyangkan tubuh kawannya yang masih mematung.

Tak disangka-sangka suara gemuruh semakin menjadi-jadi, guncangan demi guncangan memainkan tubuh ringkih mereka.

"Brakkkkk", pohon sengon tempat bertengger kedua Psittacula itu akhirnya tumbang juga.

"Masbrooo", teriak Bejo yang berhasil terbang menghindari tumbangnya sengon terakhir. "Masbroo, masbrooo", teriakan pilu penyesalan Bejo lantaran gagal mengajak kawannya untuk meninggalkan sengon tua terakhir.

"Apa salah kami, kenapa kalian mengusik penghidupan kami", teriakan Bejo yang terdengar sebagai suara cerecetan panjang betet jawa. Sambil terbang berputar-berputar di atas tempat pembantaian itu, teriakan itu terus dilontarkan Bejo.

"Min, lihat ada burung hijau terbang muter-muter", kata salah seorang pekerja sambil mematikan gergaji mesinnya.

"Itu namanya betet, Plak, itu satu ekor sudah mati ketindihan pohon yang kau tumbangkan, dia sepertinya mau menengok bangkai kawannya", ujar salah satu pekerja yang tengah asyik menikmati hisapan terakhir rokoknya.

"Mana bangkainya Min?"

"Sudah, bereskan saja pekerjaan kau, biar cepat selesai pembangunan gedung barunya."

Suara bising dan parau gergaji mesin masih meramaikan suasana tengah hari yang semakin terik.

"Gusti Allah mboten nate sare, siapa yang salah akan salah dan benar akan benar.", ucap Bejo sambil terbang meninggalkan tempat itu.

31/10/2011

Balada Si Bapak Tua Kumal

"Maaf pak, yang tidak berkepentingan dilarang masuk."

"Saya ingin bertemu bapak presiden, pak."

"Mohon jangan memegang pagar pak dan jangan menempelkan bagian tubuh ke pagar."

"Lho, kenapa pak, apa bapak ini yang bernama presiden?"

Sebuah percakapan tengah terjadi di depan pagar istana presiden antara penjaga istana yang berpakaian hitam dan seorang bapak kumal. Seorang tua yang berpeci lusuh, berkaos oblong kumal, bercelana panjang sobek-sobek, dan bertelanjang kaki.

"Lho kok diam pak, apakah bapak yang bernama presiden?, wah beruntunglah saya bertemu pak presiden Republik Endonesa."

"Husss, ngawur sampeyan ini, sudah pergi sana."

"Kok ngawur gimana tho."

"Pak, saya ini bukan presiden, tapi saya bisa membuat nyawa bapak melayang."

"Wuih, sudah seperti malaikat maut saja bapak ini."

"Rupanya bapak ini mau makar ya!"

"Bukan pak, saya ndak mau bakar, uang saja ndak punya, apalagi korek api."

"Dasar gendheng kamu, sudah pergi sana, daripada saya tembak."

Dor dor dor, bunyi tembakan peringatan dari penjaga setelah berbincang dengan si bapak kumal. Tak berapa lama, seperti tanpa perintah lagi, si bapak kumal berjalan perlahan meninggalkan pagar istana yang putih bersih. Berjalan menghilang diantara keramaian jalan raya siang yang tidak terlalu cerah.

"Ada apa, apa yang telah terjadi?, ada yang makar kah?, atau separatis kah?, mana orangnya pak?"

"Tenang pak, cuma kecoa busuk, sudah pergi dia."

Beberapa waktu kemudian, iring-iringan mobil presiden melaju kencang bersiap memasuki pintu gerbang istana presiden yang terlihat rapi di bawah redupnya sinar mentari siang itu. Di dalam iring-iringan itu pun terdapat pula menteri-menteri kabinet presiden, anggota DPR, pejabat-pejabat pemerintahan lainnya, serta para pemburu berita.

Tidak sampai lima menit, presiden Republik Endonesa beserta jajarannya sudah berdiri tepat di depan istana yang eksotik itu, mereka rupanya bersiap untuk berfoto bersama. Memang siang itu adalah hari jamuan presiden untuk punggawa-punggawanya yang telah berhasil menghantarkan sang presiden menjadi populer, lantaran sering mengisi cover depan media cetak dan berita utama media elektronik di Endonesa.

"Pak, pak presiden Endonesa, saya ingin bertemu bapak", si bapak kumal tiba-tiba menyembul diantara kerumunan wartawan dan petugas keamanan sambil menggerakkan langkahnya menuju tempat berdirinya presiden Republik Endonesa.

"Lho, kamu lagi, kamu lagi, dasar kecoa busuk, bagaimana kamu bisa masuk?, jangan-jangan kamu punya ilmu gaib?"

"Eh, si bapak, ketemu lagi ya pak, saya tadi lewat gerbang sana pak, lha wong tadi dibuka kok, jadi saya langsung masuk saja."

"Pak presiden maaf atas keteledoran kami pak, kami akan meringkus pengacau satu ini, bila bapak mengijinkan, akan kami masukkan saja ke sel tahanan."

"Benar pak presiden, hukumannya biar seumur hidup saja pak", ujar menteri pertahanan.

"Menurut hemat saya, sebaiknya jangan seumur hidup pak, kasihan dia sudah tua, kita adili dulu, kalau terbukti bersalah baru hukum sampai jera", menteri hukum dan HAM tiba-tiba menimpali.

"Sebentar dulu pak, jangan buru-buru dulu, siapa tahu bapak tua ini punya gangguan kesehatan, ya siapa tahu ada sedikit gangguan jiwa", menteri kesehatan yang berdiri tepat di belakang presiden tidak mau kalah berujar.

"Kami mohon maaf sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan ini, untuk proses selanjutnya kami menunggu instruksi bapak presiden."

Puluhan wartawan dan wartawati dari berbagai media cetak dan elektronik masih terus menyoroti kejadian yang sedang terjadi siang itu. Sebuah perdebatan itu pun nampaknya akan menjadi headline di media mereka masing-masing.

"Mohon bapak-bapak tenang sejenak, untuk masalah ini, mohon bapak tua ini jangan dikasari, kasihan bapak tua ini sudah tua", tiba-tiba Presiden Republik Endonesa memecah perdebatan yang tengah terjadi diantara para punggawanya.

Tiba-tiba tepuk tangan membahana dari para punggawa presiden, wartawan dan juga tamu undangan.

"Baiklah, bapak tua, apa maksud kedatangan bapak ke sini?"

"Sebelumnya, maaf lho pak presiden, bukan maksud saya mengganggu waktu bapak, saya hanya ingin bertemu bapak."

"Lantas, jika sudah bertemu saya apa yang akan bapak lakukan selanjutnya?"

"Begini lho pak presiden, saya mau cerita, mohon didengarkan ya pak, syukur-syukur diberi penjelasan dan dibantu, saya kan cuma petani, hidup di dusun jauh dari sini, hidup kami selama kepemimpinan bapak kok ndak pernah makmur atau sejahtera ya pak, hasil panen dan ternak kami anjlok harganya, akhirnya kami ndak bisa nyekolahkan anak, dan berobat kala sakit pun kami ndak bisa, kesannya dipersulit gitu lho pak, kenapa ya pak?"

"Oh, itu masalahnya, maaf sebelumnya, saya sedang sibuk bapak, setelah ini saya harus menerima kunjungan duta besar Indonesia, pertanyaan bapak biarlah dijawab menteri-menteri saya."

"Kok gitu pak, bapak kan sering muncul di tivi, katanya berhasil mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat?, saya ingin sekali mendengar jawaban bapak"

"Bapak ini kok ngeyel ya, menteri itu ya perpanjangan suara saya pak, sudah ya, pak menteri pertanian mohon dijawab pertanyaan bapak tua ini!"

Presiden Republik Endonesa langsung masuk ke dalam istana dengan muka kusut diikuti oleh beberapa punggawanya. Di luar bangunan istana masih tersisa beberapa menteri dan anggota dewan yang masih haus jepretan-jepretan wartawan.

"Pak menteri pertanian, tolong dijawab dong!"

"Oh, oh iya iya, begini ya pak, untuk masalah itu harus kita tinjau mengenai daerah bapak terlebih dahulu ya pak, terus kita pelajari dahulu. Kalau untuk kesejahteraan, biarkan dijawab oleh pak menteri kesejahteraan rakyat, sudah saya pergi dulu ya maklum mau menerima kunjungan importir daging sapi dan kentang."

"Begini ya pak, untuk masalah kesejahteraan di daerah bapak biar kami kaji terlebih dahulu, sudah ya pak, saya mau rapat dahulu, kalau masalah kesehatan biar dijawab menteri kesehatan."

"Maaf ya pak, saya sedang sibuk.", ujar menteri kesehatan.

"Saya juga sedang sibuk, sudah ya, tanya saja ke anggota dewan yang pernah bapak pilih!", ucap menteri pendidikan yang terkesan menghindar.

"Oh, dasar!, pak anggota dewan mohon bantu saya, saya dulu yang memilih bapak, apakah bapak bisa menjawab dan menuntaskan masalah kami para rakyat rendahan?"

"Oh, saya sudah lupa tuh kalau bapak pernah memilih saya, saya ini masih sibuk rapat sana-sini pak tua, jadi jangan ganggu saya ya pak, sudah mendingan bapak pulang sana, nih uang cukup buat ongkos pulang dan beli sandal jepit", kata salah satu bapak anggota dewan sambil mengeluarkan uang sepuluh ribu dari saku celananya.

"????, inilah negeriku, rakyat dibiarkan berjalan sendiri-sendiri", pikir si bapak kumal.

"Hei, kecoa busuk, sudah pulang sana, cepat sana pergi, kalau tidak, mati kau!"

"????????????????"


26/10/2011

Tentang Nasib Manusia

Seorang bijak pernah berkata, "nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, yang tersial adalah umur tua. Berbahagialah yang mati muda". Sebuah kutipan yang patut dimaknai. Mereka yang tidak dilahirkan, mereka tidak akan pernah menginjak carut-marut tatanan dunia ini lantaran mereka tidak pernah ada, bahkan ruhnya pun tidak pernah dikenal, Tuhan tidak menciptakan mereka. Mereka yang dilahirkan tapi mati muda, mereka berkesempatan menapaki belukar kering dan bahkan merekalah yang punya kesanggupan menghijaukan kembali atau justru membakarnya. Bisa dikatakan itulah "karya" mereka, entah positif atau negatif. Mereka berkarya lalu mereka mati, itulah keberuntungan seumur hidup. Menyumbangkan karya hidup mereka untuk secuil perubahan kesemrawutan tatanan dunia sedangkan mereka tidak menikmatinya, sungguh keikhlasan yang luar biasa. Mereka tidak akan berputar dalam karma hidup lantaran putaran itu akan terkunci dalam suatu titik
kematian, sang Pencipta menyelamatkan mereka dari roda tersebut. Namun, apabila tak ada karya hidup, bisa dikatakan mereka lebih kurang beruntung dari mereka yang berkarya hidup, walaupun sama-sama terselamatkan dari roda tanpa henti. Sedangkan, mereka yang berumur tua, mereka lebih sial dan bisa dikatakan sial yang berlebihan, mungkin mereka akan ikut dalam perputaran karma hidup, sungguh mengerikan, ketika awal menjadi akhir. Berbahagialah mereka yang mati muda dengan secuil karya hidup untuk dunia yang lebih baik

Kaca Jendela

gelap legam, lantaran hujan menelikung semburat kelip alami,

hanya pijar kunang kunang yang masih menantang hukum alam

bias menembus kaca jendela buram lekat embun

masih tampak sedikit gambaran pekarangan yang lusuh itu

pohon kamboja berbunga elok menjajar liar, ilalang yang berpesta pora dan serumpun bambu tua

hanya suara rintihan angin malam ditemani gurauan hujan yang tersaring gendang telinga

ini malam kutukan bagi celepuk celepuk Kelaparan

ini pun malam kala jendela tak memberi ijin mengulas dua sosok makhluk di luar sana

di bawah pohon kamboja terkokoh tak jauh dari jendela ini

berdiri menantang malam, tajam menatap kaca jendela yang berembun

dua sosok makhluk, entah apa niatan mereka, tiap malam mematung menatap kaca jendela ini

entah mereka terpukau dengan alur alur embun yang terlukis di kaca jendela

ataukah menunggu bersua dengan penghuni ruang yang hangat ini

pintu kayu sudah menyambutmu jika kalian datang malam ini, makhluk berjubah putih

bintaro, 12/11/2011

Rabu, 07 September 2011

Untuk Negriku 11

Akhir-akhir ini santer terdengar kabar kebakaran di perumahan-perumahan masyarakat kelas menengah ke bawah dan juga pasar-pasar tradisional, bukannya sebuah kabar lagi tetapi sudah menjadi fakta yang benar-benar terjadi. Kebakaran yang sering diperkirakan akibat kelalaian penghuninya menjadi alasan utama penyebab terjadinya musibah tersebut. Kebakaran yang entah disebabkan oleh kelalaian ataupun penyebab lain nampaknya sedang menjadi trend musibah di negri ini, terutama di kota atau kabupaten yang sedang dan ingin meningkatkan pendapatan daerahnya alias sebenarnya pendapatan pejabat-pejabat pemerintahan daerah yang bersangkutan. Sering terdengar kabar bahwa terdapat rencana pembangunan sebuah pusat perbelanjaan dan ataupun area publik yang lebih modern di lokasi musibah kebakaran. Nampaknya, ke-strategis-an tempat seringkali menjadi alasan utama pemerintah daerah setempat untuk berkeinginan membangun area yang lebih modern lagi karena dirasa pemukiman ataupun pasar dinilai mengganggu aktifitas ekonomi modern daerah tersebut. Mereka mungkin berujar bahwa hal itu dilakukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi rasa-rasanya itu hanyalah omong-kosong belaka, kesejahteraan hanyalah untuk pejabat-pejabat daerah beserta keluarganya. Setelah tempat dirasa strategis, maka langkah selanjutnya adalah "pengusiran" penghuni-penghuninya baik secara halus dan atau secara kasar. Namun, penggusuran atau pengusiran akan memakan biaya yang lumayan besar. Jika pengusiaran ataupun penggusuran dilakukan, jumlah dana yang akan dikorupsi pun akan semakin sedikit........ dan akhirnya dipilih cara lain yang lebih jitu, sebuah cara yang membuat masyarakat rela memindahkan usahanya ke lokasi lain, tanpa paksaan.

Baru saja terdengar kabar terbakarnya pasar di kabupaten Rembang yang notabene merupakan satu-satunya pasar tradisional utama di daerah tersebut dimana arus perputaran uang berdampak pada kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. Penyebabnya belum bisa diketahui secara pasti, lha wong ketika tulisan ini diketik, kemungkinan pasar tersebut masih dikuasai si jago merah. Rasa-rasanya ada dua pilihan penyebab dari kebakaran tersebut dan juga kebakaran-kebakaran lain di negri ini, yakni kelalaian dan atau kesengajaan. Kelalaian adalah alasan yang lebih sopan untuk diutarakan pejabat daerah ketika mengomentari suatu musibah kebakaran. Namun, bagaimanakah dengan kesengajaan?????. Rasa-rasanya dalam hati kecil selalu berujar bahwa "kesengajaan" adalah penyebab utama berkuasanya si jago merah di pasar-pasar tradisional ataupun pemukiman kelas menengah ke bawah akhir-akhir ini. Lantas apa alasannya dibakar dan siapa yang membakar???, seperti diutarakan di paragraf pertama, pejabat-pejabat daerah lah aktornya (dengan segala hormat mohon maaf kepada bapak ibu pejabat daerah yang bersangkutan). Membakar lebih mudah daripada mengusir atau menggusur secara halus ataupun secara kasar. Membakar pun akan menyiratkan betapa besarnya perhatian pemerintah daerah akan musibah tersebut dengan pengerahan alat-alat pemadam, ucapan duka cita, dan pengkalkulasian kerugian. Pembakaran pun akan menjauhkan pemerintah daerah merugi banyak kala alasan penyebabnya adalah kelalaian, karena mereka akan terhindar dari biaya ganti rugi penggusuran dan ganti rugi bantuan korban. Lantas apakah hasil yang dinikmati si pejabat pemerintahan daerah???, rasa-rasanya proyek miliaran mereka akan berjalan mulus tanpa hambatan. Penghuni alias korban dapat dengan mudah dipindahkan ke lokasi baru tanpa ada ganti rugi sedikitpun dari pihak pemerintah. 

Inilah sebuah ironi negara bangsa yang bernama Indonesia. Pemerintah nampaknya sedang berlaku sebagai "yang memerintah" dimana rakyat harus tunduk dan patuh. Sebuah ironi memang ketika para pejabat pemerintah tidak merasa sebagai pemegang amanah rakyat kecil. Dengan jabatan yang mulia tersebut nampaknya digunakan untuk "menjajah" rakyat negri ini. Inilah sebuah penjajahan gaya baru, entah siapa protagonis yang akan menang dan antagonis yang akan kalah, ataukah protagonis yang akan kalah dan antagonis yang akan menang. Kala ini, ibaratnya pejabat pemerintah adalah drakula dan rakyat adalah korbannya. Lantas bagaimana slogan-slogan kesejahteraan rakyat yang diusung pemerintahan daerah yang bersangkutan?????, slogan ibaratnya cover sebuah buku sedangkan konspirasi di dalamnya adalah isi sebuah buku, covernya bercorak bagus sedangkan isinya hanya corat-coret orang idiot. Dengan cover yang bagus menyebabkan masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang patut, karena kecenderungan masyarakat negri ini yang berpikiran "cover bagus maka isinya pun bagus". Lantas siapa yang akan merana?, rakyatlah yang akan merana, semakin terhisap jiwa raganya oleh pejabat pemerintah yang korup. Rakyat semakin terjerat hutang yang entah sampai kapan akan melunasinya, jumlah keluarga miskin akan bertambah, dan para pejabat semakin buncit perutnya. Kembali lagi ke masalah terbakarnya pasar tradisional dan pemukiman masyarakat yang masih misterius, dalam hal ini masyarakat korban adalah korban sebenar-benarnya korban dari proyek-proyek gila. Sebuah proyek gila yang tidak manusiawi nampaknya sedang menjalari kalbu setiap individu-individu pejabat pemerintahan daerah sampai pemerintahan pusat. Inilah penjajahan gaya baru negri ini, rasa-rasanya kemerdekaan yang telah berusia 66 tahun ini menjadi semakin absurd. Benar-benar absurd!!!!!

Selasa, 30 Agustus 2011

Untuk Negriku 10

"dok, saya penyayang hewan lho",

sebuah pernyataan yang dengan spontan terlontar dari seorang wanita pemilik kucing di dalam sebuah klinik hewan di pinggiran Jakarta.

"Selain si Kitty, punya apa lagi mbak di rumah?".

"Kucing saya di rumah ada delapan ekor dok, ada empat anjing, ehmmm, saya juga pelihara elang dan harimau".

"O ya, itu di rumah semua ya mbak?".

"Yang harimau sudah gak lagi dok soalnya ketahuan petugas, disita deh akhirnya".

"ooo, gitu ya".

"Iya dok, kalo ada gajah atau badak, pengen dipelihara juga".


Itulah sebuah percakapan basa-basi dari seorang pemilik hewan kaya raya yang terekam, dimana dalam pernyataannya tersebut, si wanita tersebut entah ingin menunjukkan betapa besar rasa sayangnya kepada hewan ataukah sebuah pernyataan yang ingin memamerkan betapa tinggi kedudukan sosialnya di masyarakat kala memelihara satwa liar yang notabene masuk kriteria dilindungi baik oleh peraturan Indonesia maupun dunia internasional. Nampaknya pernyataan tersebut lebih memperlihatkan kepada sebuah keangkuhan masyarakat berduit di kota-kota besar, sebuah keangkuhan dan kesewenang-wenangan terhadap hidupan liar. Seolah-olah hidupan liar adalah harta yang menunjukkan kemewahan tersendiri, dan orang-orang berduit "wajib" memeliharanya di halaman rumah mereka agar mereka dipandang sebagai orang yang terpandang. Hidupan liar jelas-jelas tidak memerlukan kasih sayang layaknya anjing dan kucing rumahan yang setiap saat dibelai atau dikandangkan, hidupan liar membutuhkan sebuah kasih sayang yang benar-benar datang dari kalbu dimana dengan keikhlasan menyayangi untuk tidak merusak habitat dan tidak memeliharanya. 

Masyarakat kelas atas perkotaan nampaknya merupakan kelompok masyarakat yang bisa dikatakan sebagai kelompok masyarakat yang tidak peduli dengan kelestaian hidupan liar negeri ini. Rasa-rasanya mereka tidak pernah tahu asal harimau sumatera, gajah sumatera, atau elang jawa, dan lain-lain, serta bagaimana habitatnya, bagaimana statusnya di alam. Gengsi, pamor, dan status sosial adalah incaran mereka. Hidupan liar hanyalah sebagai komoditi untuk mencapai kondisi tersebut. Dan akhirnya terjadi kongkalikong dengan petugas pemerintah yang seharusnya dengan kejujuran dan dedikasinya mampu menebas keberadaan pemelihara hidupan liar di perkotaan. Inilah sebuah rasa kasih sayang yang absurd terhadap hidupan liar. Inilah sulitnya mengubah gaya hidup masyarakat kelas atas perkotaan yang sudah terjejali oleh sikap angkuh dan mementingkan diri sendiri. Sebuah ironi keanekaragaman hayati negeri ini. 

Ditilik dari sudut pandang manapun, memeliharahidupan liar adalah SALAH BESAR, misalnya dari sudut pandang medis, hidupan liar yang dipelihara di halaman rumah akan mendekatkan penyakit baru kepada masyarakat perkotaan, dan ketika sudah menjadi wabah, siapa yang patut disalahkan?, si satwa kah atau si manusia kah?. Dari sudut pandang kelestarian alam, pemelihara hidupan liar adalah penyumbang rusaknya keanekaragaman hayati bumi ini. Sudah saatnya bersama-sama kita sebagai masyarakat negara megabiodiversitas Indonesia bersatu untuk meneriakkan "STOP MEMELIHARA SATWA LIAR".

Untuk Negriku 9

Akhir-akhir ini tayangan televisi yang mengumbar keperkasaan manusia sering diputar pada jam-jam istirahat di sela-sela tayangan khusus anak dimana mayoritas penontonnya adalah anak-anak. Tayangan tersebut menggambarkan bagaimana manusia berkuasa terhadap alam, dalam hal ini adalah hewan atau lebih tepatnya satwa liar. Tayangan yang mempertontonkan "kekuasaan" yang berlebihan manusia akan satwa tanpa melihat aspek kenyamanan hewan dalam prinsip animal welfare. Dari tayangan ini dapat ditarik kesimpulan awal bahwa satwa dan atau satwa liar "dapat" dan "lazim" diperlakukan seperti tayangan tersebut. 

Jam tayang di siang hari ketika banyak anak-anak kecil menonton menjadikan tayangan tersebut terkesan seperti "cuci otak" anak-anak generasi penerus bangsa dalam memperlakukan satwa dan atau satwa liar yang merupakan unsur biodiversitas negeri ini. Apa yang terjadi ketika daya pikir anak-anak yang polos menangkap sebuah tayangan yang seolah-olah telah dilazimkan tersebut. Dengan mudahnya mereka akan berpikiran "eksploitasi" terhadap keanekaragaman hayati ketika dewasa, dan tidak hanya itu saja, kemungkinan pengaruh terburuknya adalah perubahan perilaku dan moral menjadi generasi penerus bangsa yang mengijinkan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. 

Inilah bencana yang akan menimpa negara bangsa ini ketika tayangan kekerasan tehadap alam disahkan dan dilazimkan begitu saja. Bencana yang datang ketika keanekaragaman hayati sudah menunjukkan titik nol bahkan minus, serta hilangnya keramah-tamahan bangsa ini karena tergantikan oleh kekerasan-kekerasan dan kesewenang-wenangan. Nampaknya semua unsur negara bangsa ini harus belajar dari ungkapan Gandhi, "The greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated"

Minggu, 21 Agustus 2011

Tebak-Tebakan dari Sketsa Burung


Silakan diisi bagian-bagian tubuh burung yang telah ditampilkan di atas !!!!!!!!





Jawabannya silakan dicari di :


Mackinnon J. 1990. Field Guide To The Birds Of Java And Bali. Yogyakarta : Gajah Mada University press.

atau

Mackinnon J, Phillips K, Balen BV. 2007. Burung-Burung Di Sumatera, Jawa, Bali Dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Serawak Dan Brunei Darusssalam). Puslitbang Biologi – LIPI & BirdLife International-Indonesia Programme.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Peranan Medik Konservasi dan Avian Medicine Terhadap Konservasi Burung Liar

            Kegiatan konservasi terhadap burung liar di Indonesia diperlukan untuk mempertahankan kelestarian keanekaragaman burung di Indonesia, karena burung liar merupakan salah satu penyusun keanekaragaman hayati di Indonesia. Selain itu, konservasi terhadap burung liar diperlukan karena menurut Setio dan Takandjandji (2006), keberadaan satwa burung di Indonesia sedang mengalami penurunan populasi. Menurut Lack (1954, 1966) dan Newton (1998) diacu dalam Sutherland (2004), sebagian besar burung secara alami dibatasi oleh beberapa variabel, diantaranya adalah kemampuan untuk memperoleh pakan, bersarang, predasi, kompetisi, serta penyakit. Penyakit parasitik hanya mempunyai pengaruh kecil terhadap sebagian besar burung, tetapi dapat menyebabkan kematian pada kondisi tertentu. Pengetahuan terhadap penyakit berguna sehingga efek penyakit terhadap daya tahan dan breeding suatu spesies burung dapat diketahui, penyakit dapat diatasi, serta adanya penyakit baru dapat dihilangkan melalui tindakan karantina. Pemeriksaan kesehatan terhadap burung-burung liar dan burung-burung liar di penangkaran merupakan suatu langkah untuk mencegah transmisi penyakit dari penangkaran ke populasi liar, dan sebaliknya. Berdasarkan hal tersebut, maka fasilitas penangkaran secara in situ harus diusahakan hanya untuk satu spesies.

            Burung-burung di penangkaran yang ditujukan untuk reintroduksi harus dijaga terhadap kontak dengan burung-burung di penangkaran lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan penyakit yang dibawa dari populasi di penangkaran (Greenwood 1996 diacu dalam Sutherland et al. 2004). Manajemen penayakit dapat menurunkan mortalitas dan beberapa penyakit parasitik yang dapat mengancam burung di lapangan (Jones dan Duffy 1993 diacu dalam Sutherland et al. 2004). Adanya kemungkinan penyakit pada burung liar dan juga satwa liar lainnya, maka kegiatan konservasi juga harus didukung oleh kegiatan medik konservasi. Menurut Aguirre dan GÏŒmez (2009), medik konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul yang menghubungkan antara kesehatan manusia dan ksehatan hewan dengan kesehatan ekosistem dan perubahan lingkungan global. Serta medik konservasi menurut UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang satwa liar.

Menurut Jones diacu dalam Sutherland et al. (2004), teknik-teknik yang dapat dikembangkan untuk manajemen konservasi burung-burung yang terancam punah dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas habitat, penyediaan sarang-sarang buatan dan penyediaan pakan, atau pengendalian predator dan patogen. Tahapan pertama dalam pelaksanaan manajemen konservasi burung-burung yang terancam punah adalah pengetahuan tentang sejarah hidup, ekologi, distribusi, serta jumlah spesies burung yang diperhatikan. Selain itu juga diperlukan suatu penelitian tentang sejumlah kecil pasangan burung sehingga dapat diketahui tentang diet, kebutuhan habitat, dan keberhasilan persarangan. Tahapan kedua dalam manajemen konservasi burung terancam punah adalah melakukan diagnosa terhadap penurunan populasi dan tindakan-tindakan perbaikan populasi. Beberapa pendekatan yang dilakukan adalah penyusunan pengetahuan yang diperlukan dalam penilaian tentang distribusi sebelumnya dan kecenderungan populasi selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan informasi tentang mortalitas, produktivitas, penyebab kegagalan breeding, struktur umur, pertahanan hidup di habitat yang berbeda, pengaruh cuaca, serta faktor-faktor lain yang berkaitan. Selain itu juga diperlukan tinjauan beberapa perubahan ekologi yang mempengaruhi spesies, khususnya yang disebabkan oleh tindakan manusia. Pengamatan pasangan burung-burung di alam, monitoring tingkah laku di alam, pencegahan maslah-masalah yang mempengaruhi seperti penyelamatan telur dan burung-burung muda dari sarang yang rusak merupakan salah satu langkah yang dapat diambil dalam manajemen konservasi. Kegiatan manajemen konservasi juga meliputi keterangan tentang faktor-faktor lain seperti pakan, cuaca, dan parasit. 

Menurut Jones diacu dalam Sutherland et al. (2004), tahap ketiga adalah manajemen intensif, fokus dari tahap ketiga adalah menghasilkan produktivitas yang maksimal dan daya tahan setiap individu yang maksimal. Manajemen intensif juga melibatkan sistem penangkaran dan pelepas liaran, translokasi, serta manipulasi terhadap telur dan anakan. Manajemen intensif membutuhkan perhatian yang besar dari avian pediatrician, dokter hewan, ahli reintroduksi, dan personel-personel berpengalaman yang dapat membantu. Tahap keempat adalah manajemen populasi, pendekatan-pendekatan khusus dalam manajemen populasi adalah perlindungan terhadap aktivitas merugikan manusia, penyediaan habitat atau melindungi sarang, pemberian pakan suplemen, pengendalian predator dan penyakit, translokasi ke kawasan yang sesuai. Tahap kelima adalah monitoring, tahap ini merupakan tahap yang penting untuk memantau populasi yang diperhatikan selama konservasi. Monitoring ini dapat dilakukan selama restorasi atau setelah restorasi, sehingga pengaruh dari manajemen konservasi dapat dievaluasi. 

Menurut Newton (1998) diacu dalam Sutherland et al. (2004), penyakit parasit parasit pada burung merupakan bagian penting yang dapat membatasi populasi pada sebagian besar jenis burung. Menurut Sutherland et al. (2004), pengetahuan tentang profil penyakit pada suatu spesies burung bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan efek penyakit terhadap daya tahan dan kemampuan breeding suatu spesies, mengetahui bahwa penyakit dapat menyebabkan kegagalan kemampuan breeding dan kemampuan daya tahan hidup, serta adanya penyakit baru dapat dicegah melalui tindakan karantina.

Menurut Joyner et al. (1992), Gilardi et al. (1995) diacu dalam Sutherland et al. (2004), survei penyakit dan pengetahuan tentang survei yang sama terhadap spesies terkait dapat menyediakan suatu indikator yang berguna dalam manajemen konservasi burung terancam punah. Hasil yang dapat diperoleh adalah dapat mengetahui keberadaan penyakit yang sedang terjadi, mengetahui pengaruh penyakit yang sedang terjadi terhadap produktivitas dan daya tahan hidup burung, dan mengetahui langkah-langkah untuk mengurangi dampak penyakit pada burung. 

Menurut Sutherland et al. (2004), pemeriksaan kesehatan pada burung-burung liar dan burung-burung di penangkaran memungkinkan tindakan yang akan diambil untuk mencegah penyebaran penyakit dari penangkaran ke alam atau dari satu spesies ke spesies lainnya. Fasilitas penangkaran secara in-situ idealnya hanya mempunyai spesies tunggal dan apabila spesies lainnya terletak dalam satu kawasan maka spesies-spesies tersebut harus diperiksa untuk mencegah penyebaran penyakit ke spesies yang diutamakan. Menurut Greenwood (1996) diacu dalam Sutherland et al. (2004), burung-burung untuk tujuan reintroduksi harus dicegah terhadap adanya kontak dengan burung-burung lain di penangkaran karena burung-burung di penangkaran mempunyai kemungkinan untuk menyebarkan penyakit ke populasi burung reintroduksi. Perhatian terhadap adanya resiko penyakit yang dapat disebarkan ke alam melalui tindakan restocking dari burung di penangkaran harus ditetapkan untuk mengatasi penyakit pada populasi yang ada. Menurut Jones and Duffy (1993) diacu dalam Sutherland et al. (2004), manajemen penyakit dapat menurunkan mortalitas dan beberapa penyakit parasitik dapat diatasi di lapangan, khususnya pencegahan pada sarang. 

Menurut Ritchie et al. (1994), pelayanan dokter hewan terhadap penangkar burung adalah penyelenggaraan pemeriksaan terhadap burung-burung baru, penyelenggaraan pemeriksaan burung-burung yang sudah ada, membantu dalam pembuatan dan pemeliharaan sistem pencatatan, membuat program pencegahan penyakit, memberikan saran dalam hal penangkaran, penyediaan perawatan darurat untuk burung-burung di kandang/penangkaran, memberikan tindakan yang tepat untuk mengatasi wabah penyakit, mengevaluasi kegagalan reproduksi, serta membantu dalam hal inkubasi dan masalah-masalah pediatrik pada burung. Dokter hewan dan pegawainya harus mempunyai kesadaran tentang biosekuriti terhadap resiko-resiko potensial, hal ini bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit melalui vektor mekanik antara individu pasien dan fasilitas penangkaran. Dokter hewan harus mengunjungi satu penangkaran dalam satu hari, sebaiknya dilakukan pada pagi hari sebelum memasuki fasilitas rumah sakit. Apabila dibutuhkan handling burung dari kandang maka langkah yang harus diperhatikan adalah memindahkan burung dari enclosure dengan meminimalkan gangguan.

Kamis, 18 Agustus 2011

Untuk Negriku 8

Satu hari yang lalu tepatnya hari rabu tanggal tujuh belas agustus tahun dua ribu sebelas, semangat cinta tanah air mayoritas rakyat Indonesia seperti bangkit kembali setelah sekian waktu terlelap dikarenakan iklim yang menjauhkan rakyat dari semangat cinta tanah air, walaupun cuma satu atau beberapa hari. Namun, rasa-rasanya apa yang disebut dengan "cinta tanah air" hanyalah milik "rakyat kecil", sedangkan yang namanya "rakyat besar" enggan berkecimpung di dalam yang namanya "cinta tanah air". Nampaknya "cinta tanah air" telah dianggap sebagai sesuatu yang non-materialistik dimana tidak memberikan keuntungan sepeser pun bagi "rakyat besar", sehingga berefek pada dijauhinya apa-apa yang berhubungan dengan "cinta tanah air". Apabila "cinta tanah air" memberikan untung materi, barulah dilirik oleh mereka para "rakyat besar".

Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI hanyalah urusan rakyat kecil, sedangkan bagi rakyat besar, NKRI hanyalah tempat mengeruk laba sebesar-besarnya. Mereka para rakyat besar pun dengan mudahnya membeli "tanah air-tanah air" lain dengan materi, sehingga terkesan tidak usah melanggengkan NKRI, toh semakin rusak negara bangsa ini, semakin kaya mereka para rakyat besar.

Materialistik dan sesuatu yang berbau asing nampaknya telah mengubah cara pandang rakyat besar atau rakyat-rakyat beduit yang hidup mewah tanpa sedikitpun terkena segarnya angin pagi. Materi telah menggantikan semangat nasionalisme dan cinta sesama bagi negara bangsa ini. Terlihat dari kehidupan di kota-kota besar negri ini dimana nampaknya dianggap sebagai sebuah wilayah tersendiri yang terpisah dari negara kesatuan republik Indonesia, terutama pada rakyat besar. Atau bahkan mungkin mereka hanya tahu bahwa kota besar mereka adalah negara merdeka dengan mall sebagai pusat peradaban. Inilah sebuah ironi rakyat besar yang hidup di kota besar apalagi ibu kota. Konsumerisme materialistik rasa-rasanya telah mengakar pada rakyat besar bahkan elite penguasa negara bangsa ini, yang kemudian menjalar ke pelosok-pelosok kehidupan rakyat-rakyat negri ini lainnya. Tak heran, segala cara dihalalkan untuk mencapai tingkatan "rakyat besar" yang bebas dari imaji "cinta tanah air".

Konsumerisme materialistik nampaknya telah menggerogoti dasar-dasar pondasi negara bangsa ini, layaknya sebuah kolonialisme, atau nampaknya bisa disebut sebagai neo-kolonialisme. Inilah yang menjadikan negara bangsa ini terkesan hanya jalan di tempat setelah tahun empat lima sampai sekarang ini, tahun dua ribu sebelas. Inilah kita bangsa Indonesia sebenarnya belum terbebas atau dengan kata lain belum merdeka penuh, dan negara bangsa ini belumlah berdaulat. Memang secara fisik negara bangsa ini sudah merdeka, namun belumlah merdeka secara mental. Mental yang terjajah menjadikan bangsa ini tidak bisa mandiri, sebuah karya fenomenal tidak akan pernah terbentuk manakala materialistik konsumerisme merasuki sendi-sendi jiwa rakyat bangsa Indonesia. Nampaknya dewasa ini, sang pemerintah hanya melihat kemerdekaan secara fisik sudah cukup untuk negri ini, karena merdeka secara fisik saja dapat disetir oleh golongan rakyat besar untuk meraup keuntungan materi. Sedangkan, kemerdekaan mental itu urusan terakhir, biar dipikir oleh pemerintah periode berikutnya. Pembangunan negri ini setelah merdeka tahun empat lima seharusnya dipikirkan secara matang bagaimana menyeimbangkan antara fisik dan mental sehingga apa yang disebut MDGs (Millenium Development Goals) dapat terwujud secara penuh bahkan lebih dari penuh dimana kondisi ini akan memeratakan kemakmuran tanpa ada unsur materialistik konsumerisme berlebih-lebihan, dimana kemakmuran akan menumbuhkan iklim "cinta tanah air". Segenap dan seluruh rakyat dengan semangat cinta tanah air akan menjadikan negara bangsa ini tangguh, baik di darat, laut, dan udara.

Selasa, 16 Agustus 2011

Untuk Negriku 7

Sudah enam puluh enam tahun, negeri ini menyandang predikat "merdeka". Tujuh huruf yang bermakna kebebasan dari belenggu penjajah yang kala itu adalah Belanda dan atau Jepang nampaknya selalu disambut gegap gempita oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Kemeriahan dan keriuhan penyambutan hari ulang tahun Republik Indonesia nampaknya selalu dihiasi dengan meningkatnya semangat nasionalisme terhadap negeri ini. Rasa-rasanya apabila sebuah rasa nasionalisme masyarakat dibuat sebuah grafik, maka grafik tersebut mungkin akan berbentuk seperti gunung, dengan puncaknya jatuh pada tanggal tujuh belas agustus. Pertanyaannya, kemanakah perginya rasa nasionalisme dalam kurun waktu 364 hari?, mungkin hal tersebut hanyalah sebuah pertanyaan bodoh yang tanpa dasar, mungkin faktanya adalah tidak semua rakyat NKRI kehilangan nafas nasionalisme setiap hari-harinya. Mungkin yang lebih tepatnya adalah jiwa nasionalisme tersebut tersembunyi selama 364 hari oleh hiruk pikuk kehidupan rakyat negeri ini yang diomabang-ambingkan oleh kerasnya hidup di negeri sendiri, nampaknya sebuah kelaziman dan dilema jaman sekarang, memikirkan kelangsungan hidup di masa depan saja susah, apalagi memikirkan nasionalisme.


Jawabannya akan lain manakala nasionalisme ditanyakan kepada para elite pejabat yang duduk di singgasana batu pualam nan elok rupawan. Rasa-rasanya mereka bukanlah menyembunyikan rasa nasionalisme dalam kurun waktu 364 hari, melainkan mereka menyelewengkan rasa nasionalisme dengan tujuan agar nasionalisme itu menguntungkan mereka dan bisa dinikmati oleh mereka dan keluarganya. Sebuah ironi memang yang tengah terjadi di negeri zamrud khatulistiwa.

Rakyat sekarang banyak yang kehilangan semangat nasionalisme itu bisa dikata hal yang lumrah manakala iklim di negeri ini tidak mendorong dan tidak menjamin imaji dan daya pikir rakyat ke arah cinta tanah air. Siapa yang seharusnya menjamin dan mengayomi rasa cinta tanah air rakyat Indonesia?, mungkin jawabannya serta merta mengarah kepada elite pejabat di sana yang seharusnya menjadi sang pamong. Elite pejabat dalam 364 hari bahkan 365 hari sekalipun tidak pernah bertingkah laku dan tidak pernah menunjukkan rasa cinta tanah air. Cinta tanah air hanya akal-akalan yang tertulis dalam setiap slogan dan poster atas nama partai politik. Partailah yang sebenarnya dicintai, bukan NKRI lagi. Sehingga rasa-rasanya lebih menguntungkan menyuarakan "rasa cinta partai" daripada "rasa cinta tanah air". Sebuah ironi memang, dikala rakyat yang merupakan kekuatan sumberdaya manusia terbesar negri ini dimana merupakan kunci kemakmuran negeri dengan jalan cinta tanah air, justru disetir untuk menjauhi kecintaannya pada ibu pertiwi, mereka disetir untuk menjadi rakyat yang harus tunduk pada kehidupan materialistik berbau asing dan mereka harus memilih antara ikut ibu pertiwi atau partai politik nan absurd yang menawarkan kemewahan dunia. Jabatan dan kedudukan telah membuat kalap sebagian masyarakat, mereka berlomba-lomba meraih kedudukan terhormat wakil rakyat, ibarat sebuah pencarian kerja. 


Rakyat lain yang tersisih, merasa resah, geli, dan muak melihat aksi-aksi elite disana, mereka pun terpaksa meninggalkan ibu pertiwi hanya lantaran harus memikirkan kehidupan yang semakin tidak jelas ke depannya. Apabila melihat kondisi demi kondisi akhir-akhir ini memang NKRI rasa-rasanya sudah tidak eksis lagi, meskipun data statistik mengungkapkan bahwa republik ini sudah mampu meningkatkan ekonomi dan demokrasinya dalam taraf yang maju pesat. NKRI sudah seperti Yugoslavia dan atau Uni Soviet yang telah pecah menjadi negara-negara kecil berdaulat. Dan, negara-negara kecil berdaulat di NKRI adalah partai politik. Tiga ratus enam puluh lima hari dalam satu tahun rasa-rasanya jarang terdapat bendera merah putih tegak berkibar sepanjang waktu, justru yang terlihat adalah bendera partai politik yang menantang terik mentari sepanjang waktu. Dimanakah ibu pertiwi berada?


Jayalah bangsaku,
Majulah negriku, Indonesia
Biarkan kibar merah putihmu menantang badai, mentari, dan kuning biru hijau merah kain-kain usang
Kepakkan sayap-sayapmu garudaku
Terbanglah tinggi setinggi elang jawa 
Jelajahi elipsnya planet hijau biru ini

Senin, 15 Agustus 2011

Konservasi dan Tantangan Penyakit pada Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)

Menurut Alikodra (1987), Salah satu tolok ukur yang dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan program pelestarian dam adalah kondisi populasi (densitas) dan penyebaran suatu spesies yang dilestarikan. Jalak bali mempunyai sifat-sifat biologis yang sangat peka terhadap adanya gangguan. Jalak bali mudah mengalami stress dalam keadaan lingkungan yang tidak wajar, sehingga kemampuan berkembangbiak sering berjalan tidak normal. Burung jalak bali juga menghendaki tempat bersarang khusus di dalam lubang-lubang pada batang pohon, padahal burung jalak bali tidak mampu membuat lubang tempat sarang tersebut. Sejak tahun 1978 nampak bahwa jumlah lubang tempat sarang secara alam sudah tidak sesuai lagi dengan yang diperlukan oleh jalak bali, sehingga dibuat lubang-lubang buatan pada pohon yang memungkinkan untuk tempat bersarang burung jalak bali.

Menurut van Balen et al. (2000), konversi habitat dan penangkapan di alam yang berlebihan untuk tujuan perdagangan satwa kesayangan menyebabkan jalak bali merupakan satwa yang berada dalam ancaman kepunahan sejak tahun 1980. Ancaman kepunahan ini disebabkan oleh ukuran populasi yang terlalu kecil, habitat yang sempit dan terbatas, penangkapan secara ilegal, dan berkurangnya habitat alami. Menurut Thohari et al. (1991), burung jalak bali telah ditetapkan oleh IUCN sejak tahun 1966 dan dicatat dalam Red Data Book sebagai salah satu jenis satwa langka yang terancam punah. Pemerintah Indonesia mulai menetapkan jalak bali sebagai satwa yang dilindungi melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970. Selain itu, sejak tahun 1978 jalak bali juga dimasukkan ke dalam appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) yang menetapkan pelarangan perdagangan jalak bali secara internasional.

Langkah konservasi terhadap burung jalak bali dapat dilakukan secara in-situ dan ek-situ. Konservasi ek-situ dapat dilakukan melalui penangkaran. Menurut Setio dan Takandjandji (2006), dasar hukum kegiatan penangkaran sebagai upaya konservasi ek-situ antara lain adalah UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemeritah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Kegiatan penangkaran dapat dilakukan oleh lembaga konservasi pemerintah atau swasta. Menurut Gepak (1986) dalam Thohari et al. (1991), proyek penangkaran jalak bali di Kebun Binatang Surabaya sejak tahun 1980 dilaporkan telah berhasil mengembangbiakkan jalak bali. Selain itu, pada tahun 1987 pemerintah Indonesia telah menerima sumbangan jalak bali hasil penangkaran para kolektor burung dan kebun binatang-kebun binatang di Amerika Serikat sebanyak 40 ekor yang bertujuan untuk dijadikan bibit dalam program penangkaran ataupun untuk keperluah restocking populasi ke habitat aslinya.

Menurut anonim (2009), penangkaran merupakan suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan jenis satwa liar dan tumbuhan alam, dengan tujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya sehingga kelestarian dan keberadaannya dapat dipertahankan. Prinsip kebijakan penangkaran jenis satwa liar adalah :
-          Mengupayakan jenis-jenis langka menjadi tidak langka dan pemanfaatannya berazaskan kelestarian
-          Upaya pelestarian jenis perlu dilakukan di dalam kawasan konservasi maupun di luar habitat alaminya. Di luar habitat alami dapat berbentuk penangkaran, baik di kebun binatang maupun lokasi lainnya yang ditangani secara intensif
-          Peliaran kembali satwa hasil penangkaran ke habitat alaminya ditujukan untuk meningkatkan populasi sesuai dengan daya dukung habitatnya tanpa mengakibatkan adanya polusi genetik ataupun sifat-sifat yang menyimpang dari sifat aslinya.
Menurut Thohari et al. (1991), masalah utama yang menjadi bahan perdebatan dan pertanyaan dalam kaitan dengan upaya peliaran kembali atau pemulihan populasi (restocking) dan redistribusi jalak bali hasil penangkaran ke habitat aslinya di alam terutama menyangkut aspek genetiknya, karena terdapat asumsi bahwa jalak bali hasil penangkaran diduga telah mengalami perubahan genetik, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kemurnian jalak bali di habitat alaminya.

Penyakit pada Jalak Bali
Menurut McCallum Dobson (2006) diacu dalam Crooks dan Sanjayan (2006), fragmentasi habitat inang dapat meningkatkan jarak rata-rata parasit untuk berpindah antara kelahiran dan kesuksesan kolonisasi satwa. Kondisi dimana populasi inang berubah menjadi kawasan kecil dan terfragmentasi akan menyebabkan peningkatan keberhasilan penyebaran penyakit dan akan menyebabkan peningkatan prevalensi terhadap beberapa parasit dan patogen lain.
Menurut Thompson (2001), penyakit utama yang terjadi pada populasi di penangkaran adalah atoxoplasmosis, hemochromatosis, dan chlamydia. Atoxoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan parasit koksidia yang menginfeksi sistem limfoid dan epitel intestinal pada burung-burung penyanyi. Infeksi pada burung berasal dari tertelannya ookista yang bersporulasi dan mempunyai efek infeksi yang berat dan kematian pada burung-burung muda antara umur 3 dan 8 minggu. Infeksi atoxoplasma pada burung dewasa cenderung bersifat asimptomatik dan sering tidak terjadi pengeluaran ookista kecuali burung mengalami stress (ketika burung dipindahkan antar kebun binatang). Sampai saat ini dipercaya bahwa indukan yang mengandung atoxoplasma akan menyebarkan ke anakan, sehingga anakan akan terinfeksi.
Menurut Thompson (2001), dua macam obat yang sekarang digunakan secara rutin untuk mengatasi tahapan hidup atoxoplasmosis yang berbeda pada jalak bali adalah sulfachlorpyrazine dan toltrazuril. Hemochromatosis atau gangguan penyimpanan zat besi menyebabkan akumulasi zat besi yang berlebihan, hal ini dapat mengakibatkan peradangan pada berbagai organ tubuh burung. Penyebab dari hemochromatosis pada burung belum diketahui secara pasti. Namun, hemochromatosis merupakan penyakit yang umum terjadi pada beberapa jenis burung jalak. Beberapa peneliti menyatakan bahwa hemochromatosis merupakan penyakit yang berkaitan dengan diet karena hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan konsumsi zat besi dapat menurunkan kejadian penyakit ini. Selain itu pemberian buah jeruk memberikan ketersediaan asam askorbat yang dapat meningkatkan absorpsi zat besi.

Upaya Penangkaran Untuk Konservasi Satwa Liar


Indonesia merupakan negara megabiodiversitas, nampaknya kalimat tersebut sering terdengar manakala kita membaca berita-berita tentang lingkungan hidup. Namun, kebesaran biodiversitas negri ini nampaknya selalu saja diimbangi dengan laju pengrusakannya, bahkan laju pengrusakannya terasa lebih besar dan berat bagi keanekaragaman hayati negri ini. Apa yang bisa dilakukan untuk mengerem laju penurunan biodiversitas tersebut, rasa-rasanya yang diperlukan adalah upaya penyadaran semua pihak yang terkait baik pemerintah sampai masyarakat, penegakan hukum lingkungan, serta upaya penangkaran yang merupakan bagian dari upaya konservasi. Jika dilihat dari berita-berita akhir-akhir ini, makhluk yang paling rentan terhadap penurunan populasi dan spesies adalah satwa liar. Upaya untuk meningkatkan populasi dan spesies harus diusahakan secepat mungkin sebelum terlambat, sebelum muncul kepunahan. Jangan sampai peristiwa punahnya harimau jawa terjadi pada satwa-satwa liar yang lainnya. Peningkatan populasi dan jenis dengan penangkaran rasa-rasanya bisa ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Penangkaran satwa liar membutuhkan suatu tatacara dan peraturan yang berlaku supaya dapat mencapai keberhasilan penangkaran. Keberhasilan penangkaran tersebut pada umumnya dilihat dari keberhasilan menghsilkan anakan. Pengelolaan penangkaran juga berkaitan erat dengan penerapan prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare) di dalam penangkaran. Menurut UU. No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Prinsip kesejahteraan hewan tersebut meliputi bebas dari rasa lapar dan haus (freedom from hunger and thirst), bebas dari ketidaknyamanan (freedom from discomfort), bebas dari sakit dan kesakitan (freedom from pain, injury, and disease), bebas dari rasa takut dan ketakutan (freedom from fear and distress), serta bebas mengekspresikan tingkah laku alaminya (freedom to express normal behavior). Penerapan kesejahteraan hewan di penangkaran satwa liar dapat diterapkan mulai dari perkandangan sampai dengan perawatan satwa liar. Misanlnya dalam penangkaran burung menurut Girling (2003), saran dari Wildlife and Countryside Act 1981 adalah kandang burung harus mempunyai ukuran yang cukup besar sehingga dapat digunakan untuk peregangan sayap. 

            Tatacara dan peraturan dalam pengelolaan penangkaran dapat dibuat dalam bentuk SOP (Standar Operational Procedure) yang dapat dikeluarkan oleh institusi lain yang berwenang atau institusi pengelola dengan mempertimbangkan peraturan yang ada dan saran-saran dari para ahli, misalnya Dinas Peternakan, dokter hewan, ahli burung (ornithologist) untuk penangkaran burung, ahli ekologi, dan ahli konservasi, serta ahli kehutanan. Menurut Setio dan Takandjandji (2006), penerapan SOP dalam kegiatan pemeliharaan burung dimaksudkan supaya burung yang dipelihara dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Selain itu, manfaat lainnya adalah terciptanya lingkungan hidup yang sehat dan bersih dari sumber penyakit (terutama zoonosis). SOP yang dibuat dapat meliputi tatacara pengadaan dan pengiriman burung, penerimaan dan karantina burung, adaptasi dan penempatan burung, pengelolaan pakan dan obat-obatan, pengelolaan kebersihan/sanitasi kandang dan lingkungan, pengelolaan kesehatan dan pengendalian penyakit, pengelolaan reproduksi dan pembesaran anak, serta pengelolaan sistem pencatatan kejadian dan perkembangan burung (recording).