Selasa, 10 Mei 2011

Sakitnya Bumiku

Gali-gali terus, tebang-tebang terus. Sebuah fenomena yang lazim ditemui di Indonesia, rasa-rasanya juga tidak hanya di Indonesia tetapi hampir di seluruh muka bumi. Gali tambang, tidak peduli kawasan apa yang dieksploitasi, asal uji ilmiah mengatakan ada dan melimpah, serta ada modal besar sebagai pelicin dan sedikit lobi-lobi, maka tinggal gali. Taman nasional, hutan lindung, cagar alam, atau kawasan konservasi lainnya bukanlah masalah, yang penting bahan tambang berlimpah di dalamnya, gali terus sampai habis, benar-benar habis, setelah itu cari kawasan lain yang masih berlimpah bahan tambangnya. Lalu gali lagi dan lagi, sedot sampai benar-benar habis dan tinggalkan begitu saja. Rehabilitasi kawasan, nampaknya hanya sebuah slogan-slogan usang. Rehabilitasi butuh dana besar, daripada perusahaan rugi lebih baik tidak usah, urusan dengan pemerintah mudah diselesaikan dengan sedikit uang, sedikit uang dari hasil tambang yang tidak membuat perusaahn merugi. Uang datang, pejabat pemerintah senang, rehabilitasi kawasan menjadi sesuatu yang terlupakan, biarkan menjadi gurun seperti daratan-daratan Afrika.

Tebang terus, asal hutan masih luas. Tidak peduli hutan kawasan konservasi, yang penting kayu berlimpah, uang datang dan kantong menebal. Urusan ijin nampaknya semudah membalikkan telapak tangan sendiri, hanya butuh uang dan lobi, dan hasilnya pejabat pemerintah pun mangangguk tanda setuju. Tebang terus, tidak peduli berapa ratus atau ribu organisme yang mati bahkan punah, tidak peduli bumi semakin panas dan banyak bencana. Jika hutan habis, tinggal mencari kawasan lain yang siap ditebang. Jika habis benar-benar habis maka mungkin mereka si perusahaan penebang kayu akan beralih kerja menjadi penambangan pasir. Kok bisa apa hubungannya?, ternyata karena hutan habis, kawasan menjadi tanah gersang dan mungkin berpasir. Tinggal menambang pasir, dan ijin silakan diselesaikan dengan sedikit uang dan lobi-lobi lagi. Keruk terus sampai dalam, dan dalam lagi. Tinggal menunggu digenangi air dan akhirnya tenggelam. Tragisnya beberapa tahun ke depan peta Indonesia hilang, benar-benar kosong. Tidak ada gugusan tujuh belas ribu pulau.

Ironis sekali, saat bumi bertambah umurnya, justru "digerogoti" penyakit. Penyakit yang dibuat-buat oleh bakteri-bakteri jahat atau dengan istilah penghuni bumi yang berpikiran dan bertindakan seperti bakteri patogen, merusak dan merusak demi keuntungan mereka (simbiosis parasitisme). Kasihan sekali, sudah tua menanggung beban penyakit yang sulit disembuhkan. Apabila pada makhluk hidup, untuk mengatasi bakteri patogen dibutuhkan antibiotika yang mampu menonaktifkan bakteri, apakah tepat untuk menyembuhkan bumi yang sedang sakit diberikan "obat" untuk "menonaktifkan" manusia-manusia perusak. Nampaknya obat tersebut adalah kebijakan-kebijakan seputar lingkungan, namun nampaknya "obat" tersebut sudah tidak ampuh dan bakterinya (manusia-manusia perusak) pun sudah mempunyai resistensi. Sehingga diperlukan "obat" yang ampuh yang mampu mengganjar pelaku penyebab sakitnya bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar